BAB
II
BIOGRAFI
A.
Riwayat Hidup Kiai
Ahmad Maisur Sindi.
Riwayat Hidup tokoh memuat riwayat kehidupan
(identitas diri) yang meliputi nama lengkap atau nama kecil, tempat, tanggal
lahir, alamat, keluarga dan sebagainya.[1]
berikut adalah riwayat kehidupan Kiai Ahmad Maisur Sindi:
1.
Nama Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Nama kecil kiai
Ahmad Maisur Sindi adalah Muhammad Syairozi. Nama ini masih beliau gunakan sewaktu nyantri di pondok Lirap, Tebu Ireng dan Jampes. Kemudian
setelah pindah nyantri di pondok Darul Hikam Bendo, beliau mengganti nama kecilnya
dengan Ahmad Maisur Sindi. At-Tursyidi adalah kata yang biasa dijumpai dan
dibubuhkan di belakang nama kiai Ahmad Maisur Sindi pada cover kitab karya-karyanya. Kata at-Tursyidi merupakan kata yang
dinisbahkan kepada desa Tursyidi Lor. [2]
2.
Tempat Dan Tahun Kelahiran Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Kiai Ahmad Maisur Sindi lahir di desa Tursidi Lor, Kec.
Pituruh, Kab. Purworejo, Jawa Tengah.[3] Beliau lahir
dari nasab orang-orang yang taat memeluk agama Islam.
Beliau hidup dalam lingkungan keluarga yang memegang teguh ajaran Islam; Ahli
Sunnah waljamā’ah. Kiai Maisur lahir pada tahun 1344 Hijriyah, atau kurang
lebih tahun 1926 Masehi, bertepatan dengan tahun berdirinya Jam’iyah Islam NU
(Nahdlotul Ulama).[4]
Adapun mengenai tanggal dan bulan kelahiran kiai Maisur belum ada data dan
saksi hidup yang dapat menjelaskan.[5]
Keadaan
lingkungan masyarakat Tursidi Lor semasa kecil kiai Maisur Sindi mayoritas
sudah memeluk agama Islam, bahkan hampir seluruhnya. Namun, kebanyakan dari mereka masih memeluk kepercayaan
kebathinan yang dikenal dengan Islam Klenik; Islam Kejawen; dam Islam Darmo
gandul. Hampir mayoritas penduduk desa tersebut menganut kepercayaan kebatinan.
Hanya sekitar 25 % saja dari masyarakat desa tersebut yang mau menganut dan
mengamalkan ajaran agama Islam secara utuh, dengan cara menganut ajaran
Syari’at Islam Ahli Sunnah waljamā’ah. Diantara 25 % penduduk yang taat
beragama Islam tersebut adalah keluarga kiai Maisur. Walaupun keadaan
masyarakat Tursidi Lor masih demikian minus taat beragama Islam namun, mereka
semua tetap bisa hidup berdampingan dengan
tentram dan damai. Belakangan, keadaan mayoritas
masyarakat desa Tursidi Lor mulai berubah setahap demi setahap menjadi
masyarakat yang taat beragama, walaupun perubahan itu belum 100 %. Perubahan
itu terjadi diantaranya karena sarana informasi dan dakwah sudah masuk
lingkungan masyarakat tersebut.[6] Berdasar keterangan salah satu
saksi hidup, setelah kiai Maisur bermukim di Ringinagung, beliau pun tetap menyempatkan
diri untuk berkunjung ke tanah kelahiran beliau diantaranya guna berdakwah.[7]
3.
Orang Tua dan Kakek Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Ayah kiai Ahmad Maisur Sindi bernama Muhammad Tsarbini
bin Syafi’i. Jauh sebelum kiai Ahmad Maisur Sindi hijroh ke pondok
Ringinagung, ayahnya Muhammad Tsarbini sudah pernah nyantri di pondok
Ringinagung dibawah asuhan Kiai Imam Nawawi. Kiai Tsarbini dianugerahi lima
orang anak dari tiga Istri. Dari istri pertama, kiai Tsarbini dianugerahi dua
orang anak, yang pertama seorang putri bernama nyai Maisaroh dan yang kedua
seorang putra bernama kiai Maisur sindi. Setelah istri pertama beliau wafat,
kiai Tsarbini menikah kembali dan dari istri kedua ini kiai Tsarbini
dianugerahi dua orang anak, yang pertama bernama nyai Mashithoh dan yang kedua
seorang putra bernama H. Syaibani. Setelah istri kedua meninggal kiai Tsarbini
menikah untuk yang ketiga kalinya dan dianugerahi satu orang anak laki-laki
yang diberi nama ‘Adhiman. Kiai Maisur adalah anak kedua dari istri pertama.[8]
Kakek kiai Maisur sindi dari jalur ayah adalah Mbah
haji Syafi’i. Pada masa hidupnya, beliau adalah seorang yang pertama kali
mendirikan masjid di desa Tursidi Lor, serta sebagai sesepuh yang mbabat (membuka)
desa Tursidi Lor. Seperti kiai Syarbini, Mbah haji Syafi’i selama
hidup pernah menikah selama tiga kali berturut-turut.[9]
4. Istri Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Kiai Maisur menikah dengan nyai Umahatun yang
merupakan putri nyai Zainatun binti nyai Syafa’atun binti nyai Sapurah binti
kiai Imam Nawawi pendiri pondok
pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung Keling Kepung Kediri. Kiai Maisur sepanjang hayatnya hanya menikah satu kali saja yaitu
dengan nyai Umahatun tersebut.[10]
Nyai Umahatun sejak kecil hidup dibawah asuhan
neneknya nyai Syafa’atun, dikarenakan ibunya nyai Zanaitun telah wafat pada
saat nyai Umahatun berumur 4 tahun dan kakaknya kiai Zaid masih berumur kira-kira 7 tahun.[11] Nyai Umahatun adalah anak kedua
dari dua bersaudara. Kakaknya kiai Zaid Abdul Hamid (W. 2009 M) adalah salah
satu pengasuh pondok pesantren Mahir ar-Riyadl periode ke tiga serta, pendiri
Pondok Pesantren Putri Ishlahiyyatul Asroriyyah Ringinagung Keling Kepung
Kediri. kiai Zaid yang merupakan kakak ipar kiai Maisur, sama seperti halnya
kiai Maisur. Sejak kecil kiai Zaid sudah mengenyam pendidikan di berbagai
pesantren di bawah asuhan ulama’ terkemuka di masanya. Diantara pesantren yang
beliau singgahi adalah pesantren Tebu Ireng dibawah asuhan kiai Hasyim,
pesantren Lirboyo dibawah asuhan kiai Abdul Karim, kiai Mahrus Ali dan kiai
Marzuqi, pesantren Kencong Pare dibawah asuhan kiai Zamroji, pesantren Lasem
Rembang dibawah asuhan kiai Mashduqi dan pesantren Peta Tulungagung dibawah
asuhan kiai Jalil dan kiai Mustaqim. Kira-kira
rihlah kiai Zaid dari pondok ke pondok tersebut memakan waktu kira-kira
± 30 tahun.[12]
Nyai Syafa’atun adalah cucu kedua kiai Imam Nawawi dari putri
pertama yang bernama Sapurah. Walaupun seorang wanita,
semasa hidupnya beliau dikenal sebagai sosok yang disegani dan memiliki
pengaruh besar. Selain beliau merupakan cucu dari kiai Imam Nawawi, beliau juga
dikenal dengan sosok embah nyai yang memiliki kemampuan lebih, bisa mengobati
berbagai macam penyakit dan menyelesaikan masalah-masalah yang menimpa orang
lain. Banyak masyarakat dari daerah kediri dan malang serta orang-orang asing,
semisal orang-orang belanda dan orang-orang cina yang sering datang berkunjung
ke rumah nyai Syafa’atun demi untuk berobat atau
mencari solusi atas permasalahan yang sedang menimpa mereka.[13]
5. Putra-Putri Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Kiai Maisur dianugerahi empat orang anak, yang pertama adalah
seorang putri bernama nyai Sri Ro’fah yang sekarang bermukim di Banten. Anak yang
ke kedua adalah seorang putra bernama kiai Munif Abdul Kafi yang sekarang
bermukim di Purworejo Jawa Tengah. Anak yang ke tiga dan ke empat adalah kiai
Muhammad Munshif Abdul Haqqi dan, kiai Abdul Hamid atau ‘Irfan Hamid yang
keduanya sekarang bermukim di pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung dan sebagai sebagian dari beberapa pengasuh
yang masuk pada periode ke empat dari kiai Imam Nawawi.[14]
6. Wafatnya Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Salah satu santri Ringinagung yang merupakan guru dan
senior peneliti telah mengabadikan waktu wafatnya kiai Ahmad Maisur Sindi dalam
sembilan bait syair berbahasa jawa bertuliskan pegon sebagai berikut:
ياهي ميسور سيدا تاغكال صاغـــــا صفــر { سيدا سكيتار جام فافات واقت عصر
سوو فاتاغ اتوس نمبــــــلاس تـــــــاهـــــــــــــــــــــــــوني
{ دينـــا سبت ايكولاه دينــــا
سيــــــــــــــــــــــــداني
نولي دي ساري اكي اغ دينــــــا أحـــــــــــــــــــــــــــد { تاغكال سفولوه ديناني دينو
أحــــــــــــــــــــــد
دي سارئ كي إغ فوندوك ماهر الرياض { كوطــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــا
كديري علامتي الرياض
فارا دولور أيو كيطا فـــــــــــــــــــــــــــــودا
دوعـــــــــــــــــــــا { كانطي خشوع أيو كيطــا فودا دوعـــــــــــا
موك عمالي ياهي ميسور دي تريمــــــــــــــــــــــــــــــا { اونو عرساني كوستي كاع موهو لومــــــــــا
اوكــــــــــــــــــا موكـــــــــا كابيه دوصــــــــا دي سفـورا { دينيغ الله ذات كاع دي سوفريه سفورا
دوصا مــــاراغ الله مـــاراغ مخلــــــــــــــــــــــوق اوكـــــا { نولي أخري
مانجيغ اونو سوواركـــــــــــــــــــــــــــــــــا[15]
Kiai Ahmad Maisur Sindi wafat pada hari sabtu
menjelang Sholat ‘ashar tepatnya pada tanggal 09 Shofar tahun 1416 H/ 08 Juli
1995/1996 M. di kediaman beliau Ringinagung Keling Kepung Kediri Jawa Timur,
pada usianya yang ke 72 dan disemayamkan pada hari Ahad waktu Dhuha di sebelah
barat Masjid Ringinagung.[16]
Adapun Istri beliau nyai Umahatun wafat pada
tahun 2007 M. Semoga Allah ta’āla mengampuni segala kesalahan beliau
berdua dan menerima segala amal baik beliau berdua serta menempatkan beliau
berdua di tempat yang mulia; surga.
B.
Riwayat Pendidikan
Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Kiai Ahmad
Maisur Sindi semasa kecil tumbuh dan berkembang langsung di bawah pengawasan
dan didikan orang tuanya. Beliau belajar dasar-dasar ilmu agama Islam kepada
ayah beliau sampai pemahamannya tertancap di dalam dada serta akalnya telah
sempurna dengan kecerdasannya.[17]
Setelah kiai Maisur lama belajar di bawah asuhan
dan didikan orang tuanya dan setelah beliau menamatkan pendidikan formal SR
(Sekolah Rakyat/ Ongko Loro), akhirnya, beliau memulai rihlah (perjalanan)
panjang menuntut ilmu agama dari pondok ke pondok yang masyhur di zamannya. Rihlah panjang itu
kira-kira dimulai sejak beliau masih berumur 9 tahun. Jika dianalisis
berdasarkan tahun kelahiran dan usia keberangkatannya ke pondok yang pertama,
maka dapat diketahui bahwa tahun keberangkatan kiai Maisur menuntut ilmu
dimulai sejak tahun ± 1353 H / 1934 M.[18]
Berikut adalah
riwayat dan periodik pendidikan kiai Ahmad Maisur Sindi dari pondok ke pondok
berdasarkan dokumentasi dan hasil wawancara dengan saksi hidup:
1.
Pendidikan di Pondok
Pesantren Lirap, Kebumen.
Di Pondok Pesantren ini, kiai Maisur
pertama kali memijakkan kakinya sebagai seorang pelajar dan santri yang jauh
dari kampung halamannya. Beliau belajar dibawah asuhan asy-Syaikh al-‘Ālim
al-Allāmah kiai Ibrahīm. Di Pondok Pesantren ini beliau belajar dan
memperdalam ilmu alat semisal ilmu shorof dan nahwu.[19]
Pada saat kiai Maisur nyantri
di Pondok Lirap, beliau memiliki salah
seorang guru khoth yang
profesional.[20]
Guru beliau tersebut bukan hanya bagus dalam tulis menulis saja, tetapi juga
merupakan guru yang sabar dalam mendidik murid-muridnya, tegas, disiplin, serta
bertanggung jawab. Dengan kepribadian guru beliau yang tampak profesioanal itu,
wajar jika di kemudian hari kiai Maisur tertarik untuk mengikuti jejaknya.
Sang guru pernah berkata kepada beliau, bahwa guru beliau itu santri lulusan
Pondok Tebu Ireng. Guru beliau menyarankan kepada kiai Maisur Sindi agar
kelak setelah selesai belajar di Lirap sebaiknya melanjutkan pendidikan di
pondok pesantren Tebu Ireng.[21]
Setelah kurang lebih tiga tahun belajar dan menjadi santri di pesantren
Lirap, kira-kira tahun ± 1353 H/ 1934 M sampai ± 1356 H/ 1937 M, kiai Maisur
yang saat itu masih berkisar umur 11 tahun bertekad untuk melanjutkan
pendidikan ke Pondok Tebu Ireng mengikuti saran dan anjuran sang guru khot idolanya.
Kepergian beliau ke pondok Tebu Ireng ditemani oleh seorang
temannya yang bernama Dalail dari desa Blekatuk, merupakan desa tetangga
Tursidi Lor. Kelak setelah menunaikan
ibadah haji, teman kiai Maisur ini dikenal dengan sebutan kiai Abdul Hamid.[22]
2.
Pendidikan di
Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang.
Di
pondok pesantren Tebu Ireng Jombang ini, kiai Maisur belajar berbagai macam
disiplin ilmu agama. Beliau mengenyam pendidikan di bawah asuhan kiai Hasyim
Asy’ari.[23]
Diperkirakan kiai Hasyim Asy’ari saat itu telah menginjak umur 60 tahunan, umur
yang sudah menampakkan keteduhan dan kematangan jiwa.[24]
Kepribadian
kiai Maisur yang baik berupa teliti, disiplin, dan penuh tanggung jawab kebanyakan diperoleh di pondok Tebu Ireng. Pendidikan
yang dilalui oleh kiai Maisur di Tebu Ireng kira-kira dimulai semenjak tahun ±
1356 H/ 1937 M, sampai tahun ± 1361 H/ 1941 M.[25]
Pondok
Pesantren Tebu Ireng Jombang didirikan oleh kiai Hasyim Asy’ari pada tanggal 26
Robiul Awal 1317 H. bertepatan dengan tahun 1899 M. Pondok pesantren Tebu Ireng baru
diakui secara resmi oleh pemerintahan belanda pada tanggal 6 Februari 1906 M/
1324 H. Kemudian sejak tahun 1910 M/1328 H, pondok Tebu Ireng mulai memainkan
peranan yang dominan dalam pelestarian dan pengembangan pesantren dan menjadi
sumber penyedia yang paling penting untuk kepemimpinan pesantren di seluruh
Jawa dan Madura. Dengan diterapkannya sistem yang bersifat baru (modern) berupa
pengadaan lembaga madarasah di pesantren Tebu Ireng dengan tetap melestarikan
subtansi ajaran Islam Ahli Sunnah wal Jamā’ah oleh kiai Hasyim Asy’ari, maka
kini lembaga tersebut tetap diakui sebagai lembaga pendidikan nasional yang
mantap dan diharapkan bisa membentuk dan membina kepribadian masyarakat.[26]
Dengan
berdasar keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pondok Tebu Ireng di saat
kiai Maisur nyantri sudah merupakan pondok yang berkualitas dan berbobot
dan sudah memiliki lembaga madarasah dan peraturan-peraturan yang sistematis.
Sehingga tak hayal jika kelak kiai Maisur memiliki kesiapan untuk memprakarsai
dan membantu pendirian madarasah di daerah Kediri yaitu di pondok pesantren
Jampes, Bendo dan Ringinagung.[27]
Ada
riwayat yang menarik untuk disampaikan mengenai keberangkatan kiai Maisur
menuju Tebu Ireng. Perjalanan kiai Maisur dalam menuntut ilmu ke pondok Tebu
Ireng bersama temannya; kiai Dalail tidak membawa uang saku yang cukup untuk
naik kendaraan. Keberangkatan beliau berdua hanya bermodalkan
cengke’r dan bone’k.[28]
Dengan modal keterangan yang diperoleh dari
guru kiai Maisur di pondok Lirap tentang rute pondok Tebu Ireng Jombang, bahwa
pondok Tebu Ireng itu berada di sebelah selatan kota Jombang sekitar 10 km, dan
kota Jombang bisa ditempuh dengan cara mengikuti jalur kereta api lurus ke arah
timur dari Purworejo, maka kiai Maisur dan kiai Dalail yang lebih tua
tiga/empat tahun umurnya sepakat untuk melakukan perjalan menuju pondok Tebu
Ireng dengan cara berjalan kaki dengan berbekal seadanya berupa pakaian,
kitab-kitab yang dimiliki dari pondok Lirap dan sedikit uang saku.[29]
Kepergian
Kiai Maisur ke pondok Tebu Ireng dengan tanpa memberi tahu terlebih dahulu
kepada kedua orang tuanya. Hal itu dilakukan bukan karena beliau tidak taat
kepada kedua orang tua, melainkan karena kekhawatiran beliau jika berpamitan beliau tidak
mendapatkan restu dan izin dari kedua orang tuanya karena beberapa faktor
yaitu; usia beliau yang masih berumur 11 tahun, jarak antara Purworejo dan
Jombang yang jauh, serta pemerintahan yang kala itu dikuasai oleh pemerintahan
belanda; kolonel. Walaupun beliau tidak berpamitan dengan kedua orang tuanya,
namun beliau bertekad kelak jika sudah sampai di pondok Tebu Ireng beliau akan
memberi kabar kepada kedua orang tuanya melalui surat.[30]
Dalam
perjalan menuju Tebu Ireng, Maisur kecil dan Dalail menggunakan fasilitas yang
disediakan oleh kepala desa yang berada di sekitar jalur kereta api. Dahulu
kala; pada masa pemerintahan belanda, ada ki Demang yang sekarang
disebut dengan lurah atau kepala desa yang memberikan jaminan berupa makanan
[disebut congkok] pada setiap malam kepada penjaga malam disepanjang
jalur kereta api. Dengan menggunakan kitab-kitab yang diperoleh dari pondok
Lirap, beliau menjadikan kitab-kitab itu sebagai bukti penguat kepada ki
Demang bahwa beliau adalah seorang santri yang akan melanjutkan pendidikan
di Tebu Ireng agar beliau bisa diizinkan menginap di rumah Ki Demang.
Jika malam hari, beliau berdua menyempatkan ikut ronda; jaga malam agar dapat
ikut makan dari congkok pemberian ki Demang. Ketika siang hari
mereka berdua meneruskan perjalanan menyusuri rel kereta api. Jika menemukan
para petani sedang mengunduh hasil panen, mereka berdua turut membantu memanen
dan mendapatkan sarapan dari para petani tersebut.
Jika melewati kuburan, mereka berdua berhenti sejenak untuk memetik buah-buahan
yang tumbuh di pekarangan pekuburan yang tak bertuan tersebut semisal mangga
sebagai pengganjal perut. Begitulah kira-kira pahit manis perjalanan Maisur
kecil dan Dalail menuju pondok pesantren
Tebu Ireng.[31]
Pada
saat akan melewati hutan Saradan, Ngawi. Maisur kecil dan Dalail berhenti
sejenak di warung yang terletak di pinggir hutan dusun terakhir sebelum hutan
Saradan. Beliau berdua kemudian diberi pengertian kepada penjual warung setelah
mereka berdua menceritakan prihal perjalanan menyusuri rel kereta api agar
tidak melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, karena hutan Saradan masih
banyak hewan-hewan buasnya. Penjaga warung berkata kepada Maisur Kecil, “ .... alase’ ki
jek winge’t lo, le’. Jek akeh hewan-hewan buas. Numpak motor wae !!! ojo melaku.”. (hutannya itu masih ganas/angker lo, nak.
Masih banyak hewan-hewan buas. Naik mobil saja !!! jangan berjalan kaki.).
Karena beliau tidak memiliki ongkos untuk naik kendaraan, maka beliau pun
menjual pakaian yang akan digunakan sebagai ganti ketika di pondok Tebu Ireng
kepada penjual warung tersebut guna untuk ongkos naik kendaraan melewati hutan
Saradan. Kira-kira perjalanan yang ditempuh
mereka berdua menuju Tebu Ireng dengan berjalan kaki tersebut diselesaikan
dengan memakan waktu kurang lebih satu bulan.[32]
Sesampainya di pondok, dikarenakan yai Maisur
belum memberi kabar ke rumah dan belum mendapat kiriman dari orang tuanya maka
beliau mencukupi hajat hidupnya di pondok dengan cara makan kerak [jawa:
inte’p] dari sisa-sisa santri yang tergolong menengah ke atas. Hal itu dilakukan sampai pada akhirnya beliau mendapat kiriman dari
kedua orang tuanya.[33]
Kiai
Maisur pertama kali mengenyam pendidikan di Tebu Ireng, di kelas al-‘Amrīthi;
setara dengan kelas satu Wusthō/Tsanawiyyah. Sebenarnya Pada saat
kiai Maisur tiba di Tebu Ireng pendaftaran santri baru untuk kelas al-‘Amrīthi
sudah ditutup, karena sudah melewati setengah tahun kalender pendidikan
madarasah, dan yang masih dibuka hanya pendaftaran SP (sekolah Persiapan),
tetapi karena tekad kiai Maisur yaitu tidak mau ikut SP dan menunggu sekolah al-‘Amrīthi
pada tahun berikutnya, maka kiai Maisur memaksakan diri dan tetap mengikuti pelajaran di kelas al-Amrīthi
dengan cara mengikuti kegiatan belajar di luar ruangan kelas.[34]
Pada saat menjelang akhir tahun, guru kelas al-‘Amrīthi
melakukan ujian muhāfadhah (hafalan) nadhom Alfiyah sebanyak
500 bait kepada murid-muridnya guna ditampilkan di acara akhir tahun pondok (
Ākhir as-Sannah) dan sebagai persyaratan untuk masuk jenjang selanjutnya
yaitu kelas Alfiyah. Setelah guru
tersebut melakukan ujian ternyata hampir semua murid di ruang kelas satu
Tsanawiyah tersebut belum hafal secara lancar dan belum sesuai dengan target muhāfadhah.
Karena sedikit kecewa dengan
murid-muridnya, guru tersebut memberikan hukuman jejer (berdiri) di
kelas kepada mereka.[35]
Di sela-sela guru tersebut meluapkan
kekecewaannya, pandangannya tertuju kepada anak kecil yang sedang berdiri di
luar ruang kelas, yaitu kiai Maisur kecil. Guru
tersebut lantas memanggil Maisur kecil yang sedang berdiri di luar ruangan
kelas agar masuk ke dalam kelas dan menyuruhnya membaca hafalan nadhom
Alfiyah. Dikarenakan Maisur kecil sudah hafal betul, dia pun membaca nadhom
tersebut dengan mudah dan lancar. Atas kepandaian kiai Maisur dalam menghafal
tesebut, akhirnya oleh guru tersebut beliau langsung diberi apresiaisi
boleh mengikuti kegiatan sekolah di kelas al-‘Amrīthi dan pada tahun berikutnya boleh melanjutkan sekolahnya ke jenjang
yang lebih tinggi yaitu setara dengan kelas dua Tsanawiyah dengan mata
pelajaran Alfiyyah Ibni Mālik tanpa harus mengikuti test masuk.[36]
Di
Tebu Ireng, kiai Maisur mulai mengenal dan belajar ilmu falak dan hisab
(astronomi). Beliau belajar ilmu ini dari guru beliau yang terkenal dengan nama kiai
Dzannun.[37]
Kepandaian
kiai Maisur dalam menyusun syair-syair telah tampak ketika beliau belajar di
Tebu Ireng. Pada saat ujian-ujian madarasah diadakan, kiai Maisur dalam
menjawab petanyaan ujian tidak hanya menjawab dengan jawaban yang benar, tetapi
juga menjawab dengan kata-kata berbentuk syair-syair berbahasa jawa. Kepandaian
menyusun syair tersebut dimulai semenjak beliau belajar Alfiyyah Juz Tsāni. Setelah kira-kira empat tahun lebih
belajar di Tebu Ireng tepatnya di saat beliau mengenyam pendidikan ilmu sastra
berupa kitab al-Jauhar al-Maknūn, beliau mulai mencoba menyusun karya
yang pertama yaitu kitab Tanbīh al-Muta’allim. Kira-kira kitab Tanbīh
beliau susun pada kisaran tahun 1940/19941 M. [38]
Kitab Tanbīh
al-Muta’allim disusun atas ide
dan pemikiran kiai Maisur untuk menyairkan tanbīh (peringatan/nashihat)
kiai Hasyim dalam setiap pengajian-pengajian rutin yang disampaikan oleh kiai
Hasyim kepada para santri di Tebu Ireng. Ide dan pemikiran beliau dalam mewujudkan syair tersebut dimulai pada tahap akhir
belajar al-Jauhar al-Maknūn. Tanbīh kiai Hasyim tersebut yang
semula berupa kalam natsar, oleh kiai Maisur dicatat di buku.
Catatan-catatan itu di kemudian hari beliau kumpulkan kembali dan dirangkai
menjadi bait-bait syair berbahar Bashīth. Seiring perjalanan waktu, muncul kembali dalam
benak kiai Maisur untuk menambahkan bait-bait syair tersebut dengan mengambil
keterangan dari lieratur kitab akhlak semisal kitab Ta’līm al-Muata’allim. Tambahan
bait tersebut beliau beri kode “ziyādatī”.[39]
Setelah dirasa cukup menuntut ilmu di sana, kiai
Maisur kemudian ingin melanjutkan pendidikan agamanya ke pondok terkenal dan
berbobot lainya. Pondok yang diakui berbobot dan terkenal handal lulusannya saat
itu, selain Tebu Ireng ada tiga; pondok Termas Pacitan, pondok Jampes Kediri
dan pondok Bendo Pare. Semula kiai Maisur berkeinginan untuk melanjutkan
pendidikannya di pondok Tremas Pacitan karena teropsesi dengan kemasyhuran kiai
Mahfūzh Tremas sebagai seorang Ulama’, pengarang kitab yang produktif,
sekaligus mufti di tanah Harām; Makkah yang bermukim di Masjid al-Harām
sampai wafat pada tahun 1338 H/ 1920 M.[40]
Dengan
pertimbangan-pertimbangan yang matang dan istikhārah, beliau menjatuhkan
pilihan untuk berpindah ke pondok Jampes Kediri yang saat itu telah masyhur
bahwa pengasuhnya kiai Ihsan bin Dahlan baru saja menyelesaikan kitab tashawwuf
berjudul Sirōj al-Thōlibīn.[41]
3.
Pendidikan Di Pondok Pesantren al-Ihsān Jampes, Kediri.
Pondok pesantren al-Ihsan Jampes didirikan oleh ayah kiai Ihsan bernama
kiai Dahlan (W. 1928 M). Pondok Pesantren al-Ihsan jampes terletak di desa
Putih Kec. Gampengrejo, Kab. Kediri, lima kilo Meter di sebelah barat sungai
Berantas Kediri. Kiai Ihsan mulai menjadi pengasuh Pondok menggantikan ayahnya
sejak tahun 1932 M sampai pada tahun kewafatan beliau 1952 M.[42]
Kiai Ihsan adalah sosok Ulama’ yang produktif dalam menyusun kitab-kitab
ilmiyah agama Islam berbahasa arab. Sebagai pengasuh pesantren, beliau merasa
bertanggung jawab atas murid-murid yang diasuhnya. Waktu-waktu beliau hanya
dihabiskan untuk muthōla’ah, menulis kitab, mengajar dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan kegiatan agama dan pesantren. Di siang hari, waktu-waktu beliau
digunakan untuk banyak mengajar dan memberi pengajian kepada para santri dan
waktu senggang yang hanya sesaat di siang hari digunakan untuk istirahat siang/Qoilullah
dan selebihnya masih juga digunakan untuk muthōla’ah atau menulis
kitab. Sedangkan di malam hari, jika tidak ada tamu yang datang, maka sehabis
mengajar para santri, beliau di belakang mejanya membaca atau menulis sambil
minum kopi dan merokok yang menjadi kegemarannya sampai saat menjelang
fajar dan beliau tinggalkan mejanya itu
hanya apabila hendak menunaikan Sholat sunnah di larut malam.begitulah yang
senantiasa beliau kerjakan pada setiap harinya hingga praktis jam untuk tidur
bagi beliau dalam sehari-hari sangat minim sekali. Dalam petuahnya beliau
mengatakan bahwa jika seseorang ingin melakukan tirakat atau riyādlah, maka
yang paling utama baginya harus banyak mengurangi jam tidur, terutama di waktu
malam hari.[43]
Termasuk tirakat dan riyādloh
kiai Ihsan seperti yang diceritakan oleh agus Hafizh Ghozali dari guru beliau,
kiai Maisur adalah selalu menelaah terlebih dahulu kitab-kitab yang akan
dibacakan dan diajarkan kepada para santri, walaupun beliau sudah
berulang-ulang kali dan bertahun-tahun mengajarkan kitab tersebut, seperti
kitab fath al-Qorīb. Padahal kiai Ihsan kiai Ihsan bukan hanya seorang kiai,
tetapi juga seorang pengarang kitab yang sudah tidak diragukan lagi
kealimannya. Tirakat dan Riyādloh
ini dilakukan dengan harapan semua diajarkan oleh beliau kepada para santri
oleh Allah ta’āla dijadikan ilmu yang bermanfa’at dan berkah.[44]
Adapun kitab-kitab yang beliau
ajarkan kepada para santri antara lain adalah kitab Ihyā’ ‘Ulūmi ad-Dīn karya
al-Ghozāli, Tafsīr al-Jallālain karya al-Mahalliy dan as-Suyūthi,
dan kitab Tuhfah al-Muhtāj karya Ibnu Hajar al-Haitami, dan khusus dalam
setiap bulan Romadlān, secara rutin beliau selalu membaca dua kitab yaitu Fath
al-Mu’īn karya Zainuddin al-Malibari dan kitab al-Hikam karya Ibni
At-Thā’illah as-Sakandāri, serta beberapa kitab yang lain.[45]
Kiai Maisur yang sudah tampak keilmuan dan keprofesionalannya semenjak
di Tebu Ireng kemudian berpindah belajar dan nyantri
di pondok pesantren Jampes Kediri. Di pondok ini beliau belajar berbagai
macam ilmu agama dibawah asuhan kiai Ihsan bin Dahlan (W 1952 M). Ilmu Falak
dan Hisāb beliau kembangkan di pondok ini. Kurang lebih empat tahun
lamanya beliau menimba ilmu di Pondok Jampes mulai kira-kira
tahun ±
1361 H/ 1941 M sampai
tahun ± 1365 H/ 1945
M.[46]
Kepandaian kiai Maisur dalam
menyusun bait-bait syair dan menyusun kitab tidak diabaikan begitu saja ketika
berpindah di pondok Jampes. Di pondok Jampes ini beliau justru semakin mematangkan dan mengembangkan
bakatnya. Terbukti pada saat banjir besar melanda lingkungan di sekitar sungai
Brantas, termasuk pondok Jampes, beliau telah menyelesaikan kitab berbentuk
syair diikuti keterangan berbahasa arab yang membahas tentang astronomi. Kitab
itu dinamai dengan al-Hawāshil al-Munadlirrāt.[47]
Di Jampes, kiai Maisur juga
mempelajari ilmu tashawwuf dengan mengikuti pengajian kitab Ihyā’ ‘Ulūmi
ad-Dīn karya al-Ghozāli dibawah bimbingan langsung kiai Ihsan. Setidaknya mulai dari Juz satu sampai Juz
dua beliau mendapatkan sanad pengajian kitab tersebut dari kiai Ihsan.
Kemudian untuk Juz tiga dan Juz empat beliau kaji dibawah bimbingan kiai
Hayatul Makki saat beliau pindah ke pondok Bendo, Pare. Selain itu, banyak lagi
kitab-kitab yang lain yang telah beliau gurukan kepada kiai Ihsan, diantaranya
kitab Mughni al-Labīb karya Ibnu Hisyām yang mengulas tentang gramatikal
bahasa arab.[48]
Pondok Pesantren Jampes dalam asuhan kiai Ihsan mengalami perkembangan
santri yang begitu mengembirakan, jumlah santri yang belajar di pesantrennya pada
setiap tahunnya terus bertambah dengan pesatnya. Bangunan-bangunan pondok
kemudian tahap demi tahap diperluas sampai seluas tempat yang ada pada saat ini
yaitu di atas tangan 1,5 Hektar. Hanya saja bangunannya saat itu masih sangat
sederhana sekali yaitu sebagaian besar berupa bangunan dari papan dan bambu.[49]
Untuk melengkapi pendidikan di dalam pondok pesantren yang sudah
terbilang besar di waktu itu, maka pada tahun 1942 M KH. Ihsan mendirikan
sebuah madarasah yang diberi nama Mafatih al-Huda (MMH). Madarasah ini
berisikan tujuh jenjang kelas yang dibagi menjadi dua tingkatan, tahun pertama
dan kedua dinamakan sifir awal dan tsani, yaitu masa persiapan untuk memasuki
Madarasah lima tahun berikutnya (kini menjadi 12 jenjang, untuk Ibtidaiyyah,
Tsanawiyyah, dan Aliyyah). Madarasah yang baru didirikan itu diselenggarakan
pada siang hari dan ditempatkan di beberapa komplek asrama pondok. Baru
beberapa tahun kemudian Madarasah ini memiliki gedung sendiri dan
diselenggarakan di pagi hari.[50]
Pada saat kedatangan kiai Maisur di pondok Jampes, kira-kira ada sekitar
400 santri yang sama menimba ilmu kepada kiai Ihsan. Saat itu kegiatan pondok Jampes masih
mengunakan metode pengajaran traditional yaitu dengan cara pengajian-pengajian
bandongan dan sorokan tanpa adanya madarasah. Setelah kiai Ihsan mengetahui
bahwa kiai Maisur adalah santri lulusan Tebu Ireng yang sudah lama mondok di
sana, serta beliau tahu bahwa metode pendidikan yang diterapkan di Tebu Ireng
sudah menggunakan sistem madarasah maka, kiai Ihsan menugaskan kiai Maisur
untuk turut andil dalam pendirian madarasah di Jampes. Kiai Maisur melakukan
apa yang telah diperintahkan oleh kiai Ihsan yaitu membantu mendirikan
madarasah. Pada tahun 1942 M berdirilah madarasah Madarasah Mafatih al-Huda
(MMH). Adapun mengenai pembangunan lokal baru madarasah yang terletak di barat
pondok yang sampai sekarang masih ada kemungkinan besar merupakan jerih payah
adik kiai Ihsan yang bernama kiai Muslim atas perintah kiai Ihsan.[51]
Diantara santri-santri yang satu
priode dengan kiai Maisur Sindi saat itu adalah:
a)
kiai Muhammad Mushlih pendiri
pondok pesantren Raudlotul Thōlibīn Tanggir Tuban, yang sebelum haji bernama
Shōim,[52]
b)
kiai Ali Shodiq pendiri Pondok
Pesantren Ngunut Tulungagung yang setelah belajar di Jampes pindah ke pondok
Lirboyo,
c)
kiai Nur Salim dari purworejo
yang dijodohkan oleh kiai Ihsan dengan gadis asal Kayen Kediri serta ditugaskan
menyebarkan agama Islam di Kayen Kediri,
Setelah kira-kira empat tahun
beliau belajar di Jampes, dan setelah melakukan tugas membantu mendirikan
madarasah Mafatih al-Huda, beliau memiliki kehendak untuk pindah belajar di
pondok Bendo, Pare. Pondok Bendo saat itu adalah pondok yang masyhur dikarenakan
tidak sedikit santri-santri yang sudah mematangkan ilmu agama dari berbagai
pondok di nusantara pindah pondok ke Bendo untuk ber-tabarruk kepada
kiai Khozin yang terkenal dengan kewaliannya. Mayoritas santri yang mondok di Bendo adalah santri
yang sudah tua-tua dan sudah mumpuni keilmuannya.[54]
Pada saat izin yang pertama kali
untuk pindah ke Bendo, kiai Ihsan belum memberi izin kiai Maisur dikarenakan
kitab Ihyā’ ‘Ulūmi ad-Dīn sebentar lagi akan khatam Juz dua. Kiai Ihsan
berkata kepada Maisur, “... Syairozi, dikatamne’ sek [kitab Ihyā’
‘Ulūmi ad-Dīn] juz loro ....”. (artinya: Syairozi, dikatamkan
dulu [kitab Ihyā’ ‘Ulūmi ad-Dīn] juz dua).[55]
Setelah kitab Ihyā’ Juz
dua dikhatamkan oleh kiai Ihsan Jampes, kiai Maisur dipanggil oleh kiai Ihsan
dan diberi surat penghantar menuju ke pondok Bendo sebagai bentuk apresiasi
dari kiai Ihsan kepada yai Maisur. Kiai
Ihsan Berpesan saat memberikan surat tersebut, “... ngene Syairozi, engko
nek boyong neng bendo tak wehi surat iki, aturno marang adekku ...”.
(artinya: begini, Syairozi. nanti kalau pindah ke pondok Bendo aku beri surat
ini, sampaikan kepada adikku). Isi surat itu diantara adalah memberi pernyataan
bahwa yang tertulis di bawah ini atas nama Muhammad Syairozi adalah santri
pondok Jampes, agar diperkenankan mengikuti pengajian kitab Ihyā’ ‘Ulūmi
ad-Dīn meneruskan juz tiga dan juz empat.[56]
4.
Pendidikan Di Pondok
Pesantren Darul Hikam, Bendo.
Kira-kira kepindahan kiai Maisur dari pondok Jampes Ke pondok Bendo
terjadi pada tahun 1945/1946 M.[57]
Seperti yang telah dipesankan kepada kiai Maisur, saat beliau tiba
di pondok Bendo surat penghantar dari kiai Ihsan Jampes dihaturkan kepada kiai
Hayat. Bertepatan pada saat itu, kitab Ihyā’ ‘Ulūmi ad-Dīn
sudah dikaji sampai pertengahan juz dua.[58]
Pondok Bendo
berdiri pada tahun 1912 M. Pondok ini didirikan oleh paman kiai Ihsan Jampes
yang bernama kiai Khazin. Kiai Khazin pertama kali tholabul ‘ilmi di
pondok Syaikh Zainuri Mrican Nganjuk. Berpuluh-puluh tahun beliau menekuni
semua pelajaran yang telah diajarkan dengan disiplin dan istiqomah sehingga
beliau menjadi orang yang ‘Allamah ampuh dan ahli tasawwuf. Semula pondok Bendo
yang beliau dirikan bernama Tahdzibul Fuad kemudian berganti nama dengan Darul
Hikam.[59]
Pada saat kiai Maisur berada di pondok Bendo, situasi
Indonesia masih sangat genting sekali. Pertempuran-pertempuran terjadi di
berbagai daerah antara rakyat Indonesia dan tentara Belanda mulai tahun 1946
sampai kira-kira tahun 1949 M. Hal ini membuat orang tua beliau tidak bisa
mengirimkan uang saku kepada kiai Maisur untuk biaya di pondok Bendo. Kurang
lebih pernah selama satu tahun wesel tutup total. Dengan keadaan yang demikian
itu maka ayah kiai Masiur tidak tega dan memintanya untuk pulang dan berhenti
sejenak menuntut ilmu di pondok sementara waktu sampai keadaan aman kembali. Namun dikarenakan tekad beliau yang begitu besar dalam menuntut
ilmu beliau pun tidak mau pulang ke rumah melainkan tetap berada di pondok
bendo. Beliau berkata, “mati ure’p yo neng pondok. Wong gole’k ngilmune’
gusti Allah ora enggarah mati kelaparan” (artinya: mati hidup pokok di pondok. Orang mencari
ilmunya Allah tidak akan mungkin mati kelaparan).
Benar saja, demi untuk menyukupi kebutuhan di pondok Bendo selama tidak dikirim beliau sempatkan diri untuk bekerja buruh di desa-desa sekitar pare
pada saat libur pengajian, diantaranya
sampai ke desa Sukorejo berupa membantu memanen hasil sawah yangmana upahnya
beliau gunakan untuk kebutuhan di pondok selama setahun.[60]
Ada riwayat mengenai perjuangan kiai Maisur Sindi dalam
mempertahankan NKRI. Tidak diketahui tepatnya tahun berapa, ketika di pondok
Bendo beliau pernah ikut menjadi tentara Hisbullah yang kala itu berpusat di
Somolangu. Namun tidak lama kemudian beliau keluar dari daftar tentara
mengundurkan diri sebab tentara Hisbullah yang awal mula dibentuk untuk
mempertahankan NKRI justru belakangan memiliki gagasan ingin mendirikan Darul
Islam. Benar saja, setelah kira-kira keluar tentara Hisbullah, akhirnya satuan
tentara tersebut dibubarkan oleh pemerintah Indonesia karena membahayakan NKRI.[61]
Seperti halnya di Jampes dan Tebu Ireng, di pondok Bendo beliau juga tidak
meninggalkan kebiasaannya merajut bait-bait syair dan menyusunnya dalam
beberapa kitab, diantaranya adalah kitab al-Ikmāl dan Nail al-Amāl yang
membahas tentang ilmu Shorof I’lāl. Selain itu, beliau juga telah turur memprakarsai
berdirinya madarasah Raudlotul Huda yang sampai sekarang ini masih ada.[62]
Madarasah Raudlotul Huda kira-kira berdiri pada tahun 1949 M, dengan jenjang
pendidikan pada saat ini sebagai berikut: a) Madarasah Ibtidaiyah
dengan masa pendidikan lima tahun, b) Madarasah Tsanawiyah dengan masa pendidikan tiga
tahun, c) Majlis Musyawaroh dengan masa pendidikan dua tahun (yang diwajibkan)
yang merupakan kajian-kajian kitab salaf (kitab kuning).[63]
Setelah
kira-kira empat tahun di pondok Bendo, kiai Maisur diuji sakit mata yang tidak
kunjung sembuh. Berulang-ulang kali beliau mencoba mengobati sakit mata
tersebut namun belum juga diberi kesembuhan. Hingga suatu saat beliau sowan kepada
kiai Hayat untuk meminta pertimbangan atas penyakit yang beliau sandang. Kiai
Hayat lantas memberikan saran kepada muridnya Maisur untuk
melakukan tirah di pondok Ringinagung. Kiai hayat berkata, “cobak-cobaklah,
Maisur tirah. Tirah neng Ringinagung kana, Maisur.”(artinya: coba-coba, Maisur. Berpindah
sementara. Pindah di Ringinagung sana, Maisur). Akhirnya, kiai Maisur datang ke
pondok Ringinagung dalam rangka tirah sekaligus memenuhi pesan
ayahandanya untuk berziaroh di makam kiai Imam Nawawi guru ayahandanya, hingga
pada akhirnya beliau diambil menantu oleh nyai Syafa’atun dijodohkan dengan
cucunya yang bernama nyai Umahatun dan beliau pun bermukim di sana sampai akhir
hayat.[64]
C. Kiprah kiai Ahmad Maisur Sindi Di Pondok
Ringinagung.
Kira-kira pada tahun 1950 M, kiai Maisur datang ke
Ringinagung. mula-mula kedatangan beliau ke pondok Ringinagung hanya bertujuan tirah
untuk kesembuhan sakit mata yang sedang beliau sandang, namun pada waktu
kemudian beliau pun menjadi salah satu pengasuh generasi ketiga pondok
Ringinagung yang memiliki pengaruh besar dimasanya. Jumlah santri pondok
Ringinagung saat beliau datang dari pondok Bendo masih berkisaran antara ± 50
dengan pengasuh dari generasi periode kesatu yang masih hidup adalah kiai
Makun. Dari keterangan sebagian keluarga, saat itu ada dua tokoh yang sangat
berpengaruh di pondok Ringinagung. pertama yaitu kiai Makun dan yang kedua
adalah nyai Syafa’atun istri kiai Abdur Rohim yang sudah Wafat. Kedua tokoh
tersebut adalah cucu kiai Imam Nawawi.[65]
Pondok Pesantren Mahir Ar-Riyadl Ringinagung bernama
pendek pondok Ringinagung yang dulu dikenal dengan sebutan Pondok Keling sudah
ada sejak 1,5 abad lalu, kira-kira sejak tahun ±1859 M. Pondok ini didirikan
oleh kiai Imam Nawawi di atas tanah seluas 5 Hektar, terletak di kelurahan
Keling Kec. Kepung kab. Kediri. Kiai Nawawi yang bernama kecil raden Sepukuh
adalah keturunan sunan Kalijogo. Ayah beliau bernama raden Bustaman bin Ageng Sepupus bin Nolo Yudo bin Barat Segoro
bin nyi Ageng Adi Langu binti raden Syahid/ sunan Kalijogo. Raden Bustaman
hidup pada kisaran abad ke 18 (± 1800 M)
menjabat sebagai penghulu keraton Solo. Raden Bustaman dianugerahi
dua orang anak. Anak yang pertama seorang putri bernama Dewi Nganten Noto Projo
sedangkan anak yang kedua seorang putra bernama raden Sepukuh atau Imam Nawawi.[66]
Kurang lebih tiga puluh lima tahun lamanya Kiai Imam
Nawawi mengabdikan dirinya dalam menyiarkan agama Islam di Ringinagung.
Setidaknya jumlah santri saat itu mencapai kira-kira ± 7000 yang bertempat di
gubuk-gubuk di atas lahan seluas ± 5 Hektar. Setelah selesai membangun Masjid
di atas bekas pohon beringin yang besar, kira-kira pada tahun ± 1327 H/ 1909 M,[67]
kiai Imam Nawawi berpulang menghadap ke Hadlrotillāh.
Beliau wafat dengan meninggalkan dua orang putri dan satu putra. Anak pertama
perempuan bernama nyai Sapurah. Anak kedua laki-laki bernama agus Burhan yang
wafat ketika masih muda mendahului kiai Imam Nawawi. Sedangkan yang terakhir
seorang perempuan bernama nyai Murah.[68]
Setelah kewafatan kiai Imam Nawawi dan kedua menantunya,
kelangsungan pondok pesantren tidak putus begitu saja. Tercatat pada
periodik-periodik berikutnya cucu-cucu beliau dengan tegar dan optimistis
melanjutkan perjuangan kiai Imam Nawawi dalam memimpin pondok Ringinagung.
Berikut dipaparkan beberapa periodik pengasuh pondok Ringinagung sepeninggal
kiai Imam Nawawi dan kedua menantunya:
1.
Periode pertama
diasuh oleh: a) kiai Jamhur, b)
kiai Abdur Rohim, c) kiai Abu Mansur, d) kiai Abdul Majid, e) kiai Musthofa, f)
kiai Ulomo, g) kiai Makun, h) kiai Muharrom, i) kiai Masram dan j) kiai
Khumaidi.
2.
Periode kedua diasuh oleh: a) kiai Abdul Hamid, b) kiai Bukhori, c) kiai
Sarpan d) kiai Murtam, e) kiai Imam Faqih, f) kiai Damiri, g) kiai Abdul
Qodir, h) kiai Abdul Hadi.
3. Periode ketiga diasuh oleh: a) kiai Abdul
Hadi, b) kiai Maisur Sindi, c) kiai Zaid Abdul Hamid, d) kiai Sulthon Makun, e)
kiai Rohmat, f) kiai Mu’awam, g) kiai Masud, h) kiai Muhammad Khāzin, i) kiai
Ahmad Saubari, j) kiai Anwaruddin, k) Jali Romlani, l) kiai Khuzaifah Mu’awam,
m) kiai Muhammad Zainuri, n) kiai Zainuddin, o) kiai Zainal Abidin, q) kiai
Ahmad Selamet Rohmat dan, r) kiai Abdurrohman.[69]
Pada periode ketiga ini, dimulai dari berdirinya
madasarah al-Asna tahun ± 1970 M. dan tiga pondok putri di Ringinagung jumlah grafik
santri putra dan putri mengalami perkembangan yang signifikan. Puncaknya
kira-kira pada tahun 1997 M. jumlah santri berkisar ± 4500. Kemudian, setelah
sebagian besar dari kiai-kiai di atas menghadap ke Hadlrotillāh, dimulai
setelah wafatnya kiai Ahmad Maisur Sindi (1997 M.) kiai Zaid Abdul Hamid (2009
M.) kiai Anwaruddin (2014) kiai Khazin (2014), terjadi penurunan grafik santri
sedikit demi sedikit walaupun tidak begitu tajam. Grafik santri secara
keseluruhan baik putra maupun putri saat ini; 2015 M. kira-kira berjumlah ±
1000 santri.[70]
Ketika tiba di pondok Ringinagung, kiai Maisur pertama
kali sowan di kediaman nyai syafa’atun. Sejenak setelah menguraikan asal usul
dan tujuan beliau datang, maka nyai syafa’atun yang mengerti bahwa kiai Maisur
bukan hanya seorang santri saja melainkan juga seorang guru yang sudah
disepuhkan di pondok Bendo meminta kiai Maisur untuk bersedia tirah di ndalem beliau. Nyai
Syafa’atun lantas menyiapkan satu ruang kamar khusus di dalam rumah bagian
depan untuk tempat tirah kiai Maisur.[71]
Ketika kiai Maisur tirah di Ringinagung, banyak
dari pihak keluarga besar Ringinagung dan tokoh masyarakatnya yang ingin
menguji kealiman kiai Maisur karena berdasar berita yang beredar, bahwa santri
yang mondok di Bendo bukanlah santri sembarangan. Kebanyakan santri yang mondok
di Bendo saat itu adalah santri yang sudah pandai-pandai dan mumpuni serta
berbobot keilmuannya dan biasanya mereka yang mondok Bendo hanya dalam rangka bertabarruk.
Diujilah kiai Maisur dengan berbagai macam permasalahan-permasalahan hukum
agama yang terjadi ditengah masyarakat dan lain sebagainya. Dengan kealimanya
maka dengan mudah pertanyaan-pertanyaan itu dapat dijawab satu persatu.[72]
Mengetahui kealiman kiai Maisur, para keluarga
Ringinagung pun mempunyai pemikiran untuk memanfaatkan kealiman beliau guna
memajukan pondok Ringinagung yang saat itu masih dalam masa transisi karena
generasi penerus seperti kiai Zaid dan kiai Saubari masih mengenyam pendidikan
di pondok pesantren. Diantara permasalahan pondok yang diajukan kiai Makun
kepada kiai Maisur adalah mengenai tata tertib santri. kiai Maisur mengajukan
pendapat untuk mencanangkan peraturan-peraturan pondok yang kala itu belum ada.
Pendapat kiai Maisur itupun disetujui dan dibuatkanlah sebuah
peraturan-peraturan untuk santri pertama kali oleh kiai Maisur yang sampai saat
ini masih ada terpapang di tembok serambi Masjid Ringinagung.[73]
Berdasarkan keterangan yang dibubuhkan dalam catatan kiai
Maisur Sindi yang mengulas sejarah berdirinya madarasah al-Asna Ringinagung,
beliau resmi menjadi penduduk Ringinagung pada tahun1375 H/ 1956 M. beliau
menuturkan sebagai berikut “ .... Pada sannah 1375 H/ 1956 M saya
menjadi penduduk dan warga pondok Ringinagung dan telah mengetahui washiat embah
canggah [kiai Imam Nawawi] dan memadahinya ....”.[74]
Bertahun-tahun Ringinagung berdiri tanpa nama dan simbol.
Kemudian berdasarkan keputusan dan hasil musyawaroh para masyayikh terdahulu
ditetapkan sebuah nama “Mahir” yang berarti cerdik atau pandai. Menurut
sebagian masyayikh yang ikut pembentukan nama tersebut mengatakan bahwa nama
“Mahir” itu adalah singkatan dari Ma’had Islam Ringinagung, dan sebagai
simbol khusus untuk melengkapi nama “Mahir” adalah sebuah lambang bergambar
maasjid yang diambil dari bentuk masjid Ringinagung.[75]
Pada tahun 1964-1965 M, nama Mahir ditambahkan rangkaian
kata lagi dengan “ar-Riyadl” menjadi Mahir Ar-Riyadl. Tambahan nama ini adalah
ide dan gagasan kiai Maisur. Setelah diadakan musyawaroh dan munajat dari para
masyayikh pada saat itu maka diterimalah nama itu sebagai tambahan “Mahir”
sehingga terciptalah nama yang indah yaitu “Mahir ar-Riyadl Ringinagung”.
Inpirasi yang melatar belakangi tambahan nama “ar-Riyadl adalah nama tersebut
diambil dari kemegahan dan keindahan sebuah taman yang berada dikerajaan
Rumania yang masyhur karena terdapat berbagai corak dan ragam tumbuhan indah
yang menghiasinya. Taman tersebut bernama taman Ar-Riyadl yang sempat
menjadikan shahabat Hisyam yang berkuasa sebagai kholifah dinasti Umayyah tertarik
lalu mengabadikan nama tersebut pada sebuah akademi yang berorentasi pada
bidang agama dan dan kemiliteran yang beliau dirikan.[76]
Setelah pondok Ringinagung memiliki nama dan simbol
khusus di atas, pondok Ringinagung belum memiliki madarasah, kiai Maisur yang
sudah berpengalaman dalam merintis madarasah pada tahun 1956 M. didesak-desak
oleh sebagian keluarga pondok Ringinagung untuk bersedia mendirikan madarasah.
Beliau pun tidak tergesa-gesa dalam menanggapi permohonan sebagian keluarga
tersebut disebabkan ada hal yang harus dipertimbangkan antara lain washiat dari
kiai Imam Nawawi yang melarang berdirinya madarasah di pondok Ringinagung. kiai
Maisur lantas memberi jawaban kepada sebagian keluarga yang mendesaknya pada
akhir tahun 1956 M sebagai berikut “ .... yang akan mendirikan madarasah itu
insya Allah dari keluarga sini sendiri. Adapun saya insya Allah tetap
melindungi dan mengarahkan dan
mendampingi.”.[77]
Setelah jawaban di atas diutarakan oleh Kiai Maisur,
kemudian beliau mengatakan dalam catatan sejarah berdirinya madarasah al-Asna
sebagai berikut:
“Pada tahun
1389 H[/ 1969 M.] bersamaan dengan keadaan yang memaksa, Allāh Subhānahu
wata’āla mengubahkan [menggerakkan] dua orang al-Fatā
Syaubari Masyhūd dan kiai Zaid Abdul Hamid dengan tidak semayan kebangkitan
akan mendirikan madarasah yang sifatnya hanya menertibkan pengajian dan
kitab-kitab yang telah berlaku dan menambah kebangkitan ta’allum
[belajar] fan-fan ilmu yang telah dimiliki oleh Ulamā’ Shōlihīn min
ahli Sunnah wal Jamā’ah as-Salafiyah as-Syāfi’iyah .... selanjutnya pada
suatu malam kedua orang [Al-Fatā Syaubari Masyhūd dan kiai Zaid Abdul Hāmid]
mengumpulkan para kiai-kiai pondok Ringinagung melahirkan dan mengemukakan
berdirinya madarasah yang bersifat dengan sifat-sifat makhshūshoh seperti
yang telah tercantum yang tidak melanggar washiat-washiat embah canggah. Semua
menyambut syukur al-Hamdulillāh. .... setelah lima tahun madarasah
berjalann dan tampaknya sangat menyenangkan dan hasil buah ta’allum lebih unggul dari pada ngaji sorokan biasa dan
tertangkap oleh masyarakat madarasah ini menjadi kawasan perhatian pengaruh
yang sangat menarik, maka para ustadz dalam beberapa waktu musyawaroh dalam
perihal nama madarasah ini. Akhirnya embah Syaubari selaku wakil dari asatidz datang
ke rumah saya “madarasah minta beri nama.” Hal ini saya terima, tetapi tidak
tergesa-gesa. Makan beberapa waktu untuk merenungkan dan menjernihkan rasa hati
mohon petunjuk dari Allāh Subhānahu wata’āla. Setelah lewat ± empat
puluh hari saya berkata kepada embah Syaubari, bahwa nama madarasah ini
“al-Asna”. Kemudian nama al-Asna ini diterima oleh para asatidz dan pengasuh
pondok ....”[78]
Al-Fatā Syaubari Masyhūd dan kiai Zaid Abdul Hāmid
dalam catatan kiai Maisur di atas, seperti yang telah diuraikan jauh di atas
adalah generasi penerus periode ketiga yang merupakan cicit kiai Imam Nawawi.
menurut kiai Maisur, beliau berdua tidak termasuk melanggar washiat kiai Imam
Nawawi disebabkan beliau berdua sangatlah memahami maksud madarasah yang
diwashiatkan oleh kiai Imam Nawawi yaitu madarasah yang dikawatirkan mengandung
ajaran-ajaran yang liar dari ahli Sunnah wal Jamā’ah. Kiai Maisur
seperti sedia kala lantas membantu, mengarahkan dan melindungi berdirinya
madarasah yang setelah lima tahun berjalan madarasah tersebut beliau beri nama
dengan nama Madarasah al-Asna dan nama tersebut disetujui oleh segenap
masyayikh dan para guru Mahir ar-Riyadl Ringinagung.[79]
Adapun jenjang pendidikan pada saat ini sebagai berikut:
a) Madarasah Ibtidaiyah dengan masa pendidikan lima tahun, b) Madarasah
Tsanawiyah dengan masa pendidikan tiga tahun, c) Madarasah Aliyah dengan masa
pendidikan tiga tahun.[80]
D.
Kitab-Kitab
Karya Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Kiai Ahmad Maisur Sindi adalah salah satu ulama’ Nusantra yang
produktif dalam menyusun karya-karya ilmiyah berupa kitab di zamannya. Kemampuan dalam menyusun karya-karya tersebut
kemungkinan besar adalah keteladaan yang diwariskan oleh guru-guru beliau
semisal kiai Hasyim Asy’ari Tebu Ireng dan Kiai Ihsan Dahlan Jampes. Kebanyakan
kitab-kitab beliau berupa kalam syair[81]
disertai penjelasan. Berikut adalah nama kitab karya-karya beliau:
1. Tanbīh al-Muta’allim fī Ādāb at-Ta’allum.
Mengenai latar belakang dan sistematika penulisan kitab
ini insya Allah akan dibahas panjang lebar pada
bab berikutnya.
2.
Nail al-Amāl fī
Qowāid al-I’lāl.
Kitab setebal
103 halaman dengan ukuran kertas A4 dua halaman perlembar ini tersusun dan
sudah digunakan di pondok Ringinagung sejak tanggal 8 Dzul Hijjah 1390 H/ 4 Februari 1971 M.[82]
Kitab
ini menjelaskan tentang ilmu shorof berupa kaidah-kaidah I’lāl. Kaidah I’lāl adalah tatacara merubah bentuk kosa kata bahasa
arab untuk memperbaiki kata-kata tersebut yang semula berat agar menjadi ringan
dengan tanpa merubah arti kosa kata tersebut.[83]
Kitab ini
memuat 35 kaidah penting dalam ilmu shorof dengan berbentuk kalam syair
yang ber-bahar thowīl sebanyak 102 bait indah sekaligus
diberi penjelasan secara ringkas pada setiap bait-baitnya. Bahar Thowīl adalah
kata-kata yang disusun dengan not wazan:
فَعُوْلُنْ مَفَاعِيْلُنْ فَعُوْلُنْ
مَفَاعِيْلُنْ * فَعُوْلُنْ مَفَاعِيْلُنْ
فَعُوْلُنْ مَفَاعِيْلُنْ.[84]
Kitab ini biasa diajarkan di Madarasah Diniyah pada tingkatan Ibtidaiyah
(pemula). Ada tiga alasan yang disampaikan kiai Ahmad Maisur Sindi dalam
menyusun kitab ini yaitu: a) bentuknya yang ringkas, dapat memudahkan para mubtadi’
(siswa pemula) dalam menghafalkan lafazh-lafazh dan memahami arti-arti yang
terkandung di dalamnya, b) dengan kaidah-kaidah dan contoh-contohnya yang
diurutkan sesuai dengan masalah-masalah dalam kitab al-Amtsilah
at-Tashrifiyah karya kiai Ma’shum Tebu Ireng, Jombang kitab ini dapat
memudahkan pengajar dalam mengajarkan kitab al-Amtsilah at-Tashrīfiyah
dan memberi pengetahuan kepada para pelajar dan, c) kitab ini disusun untuk
menyempurnakan mata pelajaran di Madarasah Diniyah tingkat Ibtidaiyah di
Indonesia dan untuk memenuhi kebutuhan para pelajarnya.[85]
3. Al-Ikmāl Fī Bayāni Qowāid al-I’lāl.
Dalam
halaman terakhir kitab ini tercantum penanggalan yang digaris bawahi sebagai
berikut: “Thursidi 19 Dzulhijjah 1371 H”. Kemungkinan catatan tersebut
menunjukkan waktu selesai penyusunannya.[86]
Kitab setebal
78 halaman dengan ukuran kertas F4 satu halaman perlembar ini disusun dengan
bentuk kalam syair ber-bahar rojaz sebanyak 144 bait
disertakan penjelasan berbahasa arab. Bahar Rojaz adalah kata-kata yang
disusun dengan not wazan:
Di dalam kitab
ini memuat penjelasan lebih rinci
tentang kaidah-kaidah I’lāl. Tersusunya kitab ini sebagai pendukung
dalam pembelajaran kitab Nail al-Amāl. Beliau mengutarakan alasan
penyusunan kitab ini sebagai berikut:
“… dan untuk para ustadz yang
mengajarkan “Nail al-Amāl” itu supaya tambah terang disusunkan kitab
yang bernama “al-Ikmāl fī Qowāid al-I’lāl”. Semoga Tarbiyah Islamiyah
yang di pondok pesantren dan madarasah-madarasah yang telah merata itu makin
meningkat manfa’at dan barakahnya. Amin yā Robba al-‘Ālamīn.”.[88]
4. Tamhīd al-Bayān fī Tajwīd Ash-Shibyān.
Kitab ini selesai disusun oleh beliau pada hari Rabo
Pahing tgl 18 Jumada al-Akhiroh 1396 H bertepatan dengan tanggal 16 Juni
1976 M di Ringinagung, Pare, Kediri.[89]
Kitab ini
membahas tentang ilmu Tajwid yang fokus kepada makhorij al-Huruf dan sifat-sifatnya.
Di dalamnya terdapat 51 bait yang tersusun dengan indah berbentuk kalam syair
ber-bahar rojaz diikuti keterangan berbahasa jawa. Alasan yang mendasari tersusunya kitab ini sebagaimana yang telah
di uraikan oleh beliau adalah:
“ .... guna untuk
lebih memadahi hati para pelajar ‘ilmu I’lal mengenai huruf Mutajānisain
dan Mutaqōribain dalam (I’lal)
al-Ibdal. b). Untuk
mengantar para pelajar ilmu Tajwid tingkatan Ibtidaiyyah dari pelajaran Tuhfah
al-Athfāl dan al-Jazariyyah ….”[90]
5. Tahdzīb al-Lisān fī Kafiyati Tadrīsi Tamhīd
al-Bayān.
Kitab ini
menjelaskan tentang tatacara/metode mengajarkan kitab Tamhīd al-Bayān yang telah lalu diuraikan. Kitab ini
bertulisan arab pegon dengan menggunakan bahasa jawa yang terkadang disisipi
ibarot-ibarot dari kitab-kitab fiqh klasik. Tidak ada kalam syair di
dalamnya. Dalam kitab ini dijelaskan juga sebagian alasan penyusunan kitab Tamhīd al-Bayān; yaitu
guna untuk mengantisipasi terjadinya lahn yang merusak arti lafazh-lafazh
yang dituju mulai dari masih kecil sampai pada tarap kakek-kakek. Lahn
adalah mengucapkan harf Hijaiy tidak sesuai dengan makhroj atau
sifatnya.[91]
6.
Tadrīb an-Nujabā’ fī ba’dli Isthilāhāt al-Fuqohā’.
Kitab
ini menjelaskan tentang sebagian ishtilah-ishtilah Fuqohā’. Kitab ini
penting untuk diketahui oleh para pelajar fiqh utamanya kelas menengah dan atas, agar mereka bisa dengan cekatan dalam
mengucapkan dan memahami sebagian isthilah-isthilah yang sering digunakan oleh Ulamā’
Fuqohā’ dalam kitab-kitab mereka. Demikianlah kiranya alasan tersusunnya kitab ini.[92] Di dalamnya juga terdapat sebgain
ishtilah-isthilah para sufi.
Kitab ini disusun dengan kalam syair berbahar rojaz berbahasa arab
sebanyak 733 bait dengan diberi foot note pada lafazh-lafazh yang
perlu untuk diberi keterangan. Kitab ini sudah dicetak dan sudah direvisi
berulang-ulang kali. dan pernah dicetak serta digunakan di pondok Lirboyo namun
pada cetakan Lirboyo hanya berupa tulisan tangan langsung dan dalam kitab
tersebut tidak dibubuhkan kapan kitab itu dicetak. Di akhir halaman itu hanya
tertulis sebagai berikut;
Pada waktu
kitab ini selesai disusun, kiai Maisur meminta tolong kepada kakak ipar beliau
kiai Zaid untuk mentashhihkan kitab tersebut kepada kiai ‘Ali Mahrus
Lirboyo. kiai Mahrus langsung menyatakan bahwa kitab ini
dapat digunakan dan percaya penuh kepada kiai Maisur utamanya dalam hal keilmuan dan penyusunan karya ilmiyah.[94]
7. ‘Umdah al-Fudlolā’ Syarh ‘ala Tadrīb an-Nujabā’.
Kitab ini hadir sebagai penjelasan dan membantu
untuk memahami syair-syair dalam kitab Tadrīb an-Nujabā’. Kitab ini ditulis setebal 183 halaman di atas ukuran kertas F4 satu
halaman berbahasa arab. Kitab ini disusun secara sistematis dengan menggunakan
bab-bab sebanyak 55 bab.[95]
8. Hāsyiyah Syarh at-Tadrīb al-Musammā bi
al-Khulāshoh al-‘Umdah.
Seperti halnya kitab al-‘Umdah, kitab ini
hadir sebagai sebagai penjelasan dan membantu untuk memahami syair-syair dalam
kitab Tadrīb an-Nujabā’. Hanya saja kitab ini lebih ringkas dari kitab ‘Umdah. Dan
belum diterbitkan dan masih berupa tulisan tangan.
9. Ats-Tsamarōt adh-Dhōhirāt bitarjamah al-Waroqōt
az-Zāhirōt.
Kitab ini adalah tarjamah kitab al-Waroqāt karya Imām
al-Haromain (W. 478 H) yang sangat masyhur di kalangan santri. Tujuan
diterjemahkan kitab ini ke dalam bahasa jawa tengah inggil adalah untuk memenuhi permintaan para alumnus
pondok Ringinagung yang sudah memiliki lembaga dan madarasah di tempatnya
masing-masing untuk mempermudah dalam memaham isi kitab al-Waraqōt. Kitab
setebal 113 halaman diselesaikan pada tanggal 19 Shofar 1414 H/ 7 Agustus 1993
M di pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung.[96]
10. Al-Hawāshil al-Munadldlirrōt fī Abniyyāt
al-Auqōt wa al-Jihāt.
Kitab ini tersusun sistematis berbahasa arab dan
Indonesia pegon berupa kalam syair berbahar rojaz disusul
keterangan dan disertai rumus-rumus
matematik. Kitab setebal 128 halaman ini membahas tentang tata cara mencari arah
qiblat dan masuknya sholat lima waktu. Di dalam kitab ini dijelaskan juga
volume berat bumi, bulan dan matahari. Kiai Maisur menyatakan sebagai berikut:
“asy-Syamsu matahari Sun dari Sunna bilughoti
Alman [dengan bahasa Almania adalah] bola api gas yang maha besar yang
tinggi berkubarnya tidak kurang dari 280.000 mil, berisikan zat air, atau
hidrogen, besi, tembaga, natrium, helium, zinak [zeloit], kapur dan lain
sebagainya. titik-titik itu adalah kelompok-kelompok yang maha besar. Asap
hitam: sumber-sumber gas yang tertekan oleh hawa luar, yang sebagian panjangnya
satu kali 40.000 mil. Usia matahari kini bir-Roshdi 5-8 ribu miliar
tahun. Bandingan matahari menarik ke pusatnya dengan bumi menarik ke pusatnya
ada 27 kali sekuat bumi menarik ke pusatnya disebabkan perbandingan kekuatan
barang 2 menurut bandingan beratnya. Telah maklum berat matahari 324.000 kali
seberat bumi. Jadi kekuatan tarikan bumi adalah 324.000 kali sekuat tarikan
matahari merendahnya. Jadi kalau bumi ini besarnya sama dengan matahari, maka
barang yang aslinya berat 1 km. sekarang 324.000 km....”.[97]
Di dalamnya dicantumkan juga tata cara menghadap ke
qiblat dan masuknya waktu sholat ketika berada di bulan. Singkatnya, dalam
kitab ini banyak menerangkan hal-hal menarik mengenai seputar ilmu astronomi,
namun disayangkan kitab ini belum
tercetak dan diterbitkan untuk umum.[98]
11. Al-Intibāh fī Syair Pekorlas (Pemberantasan
Korupsi Lahiriyyah Sholat).
Kitab ini ditulis dalam rangka menyikapi
korupsi lahiriyah sholat yang sering terjadi namun jarang diperhatikan. Di
dalamnya diuraikan tata cara melakukan sholat yang benar menurut fiqh
madzhab syafi’i mulai dari sebelum melakukan sholat sampai selesai sholat.
kitab setebal 55 halaman ini disusun dengan bahasa jawa pegon berupa kalam
syair bebahar bashīt dan muqoddimahnya berupa syair berbahar Rojaz.[99]
Pada sekitar tahun 1967 M. dimana santri
Ringinagung masih berkisar ±250, kiai Maisur Sindi mengadakan Pekorlas dengan
cara peraktek sholat bagi para santri secara bergilir setiap hari sepuluh
santri. Hal itu beliau lakukan guna untuk memberantas jangan sampai ada
santri-santrinya yang masih melakukan korupsi dalam melaksanakan sholat.[100]
12. Al-Ibdā’ al-Wāfī fī ‘Ilmayi al-‘Arūdli wa
al-Qowāfi.
Kitab setebal 132 halaman ini ditulis dengan
kalam syair berbahar rojaz disertai dengan keterangan berbahasa arab. Di
dalamnya dijelaskan panjang lebar dan detail mengenai tata cara membuat kalam syair
dengan wazan-wazannya yang terbagi
menjadi 15 bahar menurut Imām Kholīl, berupa bahar Thowīl, Madīd, Bashīt, Wāfir,
Kāmil, Hajd, Rojaz, Sarī’, Munsarih, Mudlōri’, Muqtadlob, Mujtats, dan
Mutaqōrib.[101]
Kiai Maisur menegaskan bahwa ilmu syair adalah fan
ilmu yang sangat penting, karena dengan
ilmu syair dapat seorang akan dapat menbedakan antara kalam syair dan
kalam bukan syair. Dengan demikian, dapat diketahui juga secara [yaqin dan
ilmiyah] bahwa al-Quran bukan kalam syair. Kemudian, meyakini bahwa al-Quran
bukan tersusun dari kalam syair sebelum mempelajari dan mengetahui ilmu syair
disebut dengan keyaqinan taqlid dalam aqidah. Maka, jika kita tidak
ingin termasuk orang yang taqlid dalam keyaqinan bahwa al-Quran bukan
kalam syair maka baginya harus mempelajari dan mengetahui ilmu syair.[102]
13. Risālah fī al-Fasīkh.
Risalah yang setebal 14 halaman ini ditulis
dengan bahasa jawa pegon. Walaupun kitab ini berbentuk kecil dan tipis, namun
di dalamnya dijelaskan hal-hal yang penting untuk diketahui diantaranya adalah
penjelasan mengenai cara mengetahui ikan asin yang najis dan suci. Di dalamnya
diulas juga tentang hati nurani, ruh, alam malakut dan sifat-sifat nafsu.
Beliau menegaskan bahwa kegelapan yang menimpa nur rohani manusia itu berasal
berbagai sebab, diantaranya disebabkan perbuatan haram yang dilakukan oleh panca
indera dan dari sifat nafsu yang buruk, termasuk diantaranya disebabkan memakan
ikan asin yang najis meski dima’fu.[103]
14. Risālah Tanbīh fī Nahdloh al-‘Ulamā’ (NU).
Risālah ini disusun sebagai respon atas hasil
keputusan NU pada tahun 1987 M. di Situbondo Pasuruan dalam mengambil keputusan
untuk tidak melibatkan NU kepada dunia politik sama sekali yang dikenal dengan khittoh
NU. Kiai Maisur tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa NU tahun
1926 M [era kiai Hasyim Asy’ari] itu tidak berpolitik. Risālah setebal 4
halaman yang ditulis dengan bahasa arab ini menjelaskan tentang sejarah
berdirinya NU dan sikap politik NU menurut pandangan kiai Maisur Sindi.[104]
15. Risālah
Ma’mūm Muwāfiq lan Ma’mūm Masbūq.
Kitab setebal 35 halaman ini adalah tarjamah nukilan
dari kitab-kitab fiqh yang mengulas tentang Ma’mūm Muwāfiq dan Ma’mūm Masbūq.
Kitab ini ditulis dengan bahasa jawa pegon disisipkan ibarat darikitab fiqh
yang mudah dipahami oleh semua tingkatan pelajar. Kiai Maisur menjelaskan
pengertian Ma’mūm Muwāfiq lan Ma’mūm Masbūq sebagai berikut:
“Ma’mūm Muwāfiq ingge’h puniko ma’mūm e’ngkang mangge’h sangke’ng
ngadeke’pon, mulai takbiroh al-Ihrōme’pon, utawi ngadeke’pon piyambe’ke’
e’ngkang sareng kalihan imām dumugi rukū’ ipon imām, mangge’h mongso ingkang
cekap kangge’ mahos al-Fātihah milai Basmalah kelawan nisbah wacan e’ngkang
mejono boten nisbah wacane’ piyambae’, miturut Aujah. Tapi ye’n ma’mumepon
terus mahos al-Fatihah sake’ng Basmalah kelawan waosan e’ngkang mejono, lajeng
imame’pon e’ngkang dipon wahos ugi namung al-Fatihah beloko kanti waosan
engkang rikat fauqo al-‘Ādah sehingga imām rukū’, ma’mūm dereng cekap Fātihahe’
mongko kiyambeke’ kalebet nami ma’mūm masbūq hukman .... Ma’mūm Masbūq wonten ngeriki ingge’h
puniko masbūq haqīqotan, ingge’h puniko ma’mūm ingkang milahi sangking takbiroh
al-Ihrōme’pon dumugi rukū’e’pon imām boten manggihi mongso e’ngkang cekap
kangge’ mahos Fātihah nisbah kelawan wahosan Fātihah ingkang mejono boten
nisbah dateng wahosane’pon imām utawi piyambae’. Tapi umpami imāme’pon angge’ne’pon
mahos al-Fatihah mejono, ma’mum angge’ne’pon mahos al-Fātihah rikat fauqo al-‘Ādah
sehinggo imām dereng rukū’ piyambae’ sampon cekap, puniko kalebet ma’mūm muwāfiq,
.... ”.[105]
16. at-Tamrīdl.
Kitab setebal 61 halaman ini ditulis dengan bahasa
Indonesia. Kitab ini adalah karya terakhir kiai Maisur Sindi menjelang beliau
wafat. Tertulis dalam kata penghantar sebgai berikut, “25 Rojab 1417 H/ 6
Desember 1996 M.”.[106]
Kitab ini membahas tentang tata cara merawat orang sakit
dan orang yang meninggal mulai dari peroses memandikan, mengkafani, menyolati
sampai menguburkannya. Begitu penting sekali isi kandungan kitab ini sehingga kitab
ini bukan hanya diperlukan bagi kalangan di pedesaan atau perkotaan melainkan
juga di kapal-kapal yang sering berlayar berhari-hari, karena kemungkinan ada
penumpang kapal yang sakit bahkan sampai meninggal yang harus dikubur
(ditenggelamkan) di dasar lautan. Mengenai kematian yang terjadi dipelayaran,
beliau menuturkan sebagai berikut:
“di dalam kapal
yang sering berlayar sehari-hari, seharusnya dipersiapkan peti sebanyak satu, dua
atau tiga bahkan lebih menurut kebutuhan yang diperlukan. Peti tersebut
sifatnya adalah: 1). Harus kuat, rapat, dan tidak berlubang yang menyebabkan
masuknya air. 2). Tidak gampang rusak yang disebabkan dari hewan buasnya
lautan. 3). Tenggelamnya ke dasar lautan harus lurus (tidak terombang ambingkan
oleh ombak). Dan agar peti pada waktu diturunkan ke dasar lautan tidak
terombang ambingkan oleh ombak, maka dibawah kepala si mayit supaya dibanduli
batu yang beratnya 5 kg, diantara dada dan pinggang dibanduli 8 kg, diantara
pantat dan lutut dibanduli 3 kg, dan diantara lutut sampai telapak kaki
dibanduli 2 kg, yang jumlah keseluruhannnya ada 18 kg. Ukuran seberat itu (18
kg) sudah lebih berat dari tekanan air laut yang tebalnya 180 kubik. Batu yang
digunakan bandul ini sebaiknya dicetak seperti bata merah/paving supaya dapat
dipastikan keseimbangannya antara batu tersebut dan petinya .... setelah cukup
disholati, mayat dimasukkan ke dalam peti dan dihadapkan ke Qiblat, dengan menjaga
agar mayat tidak gampang berubah dari posisi arah Qiblatnya, serta pada waktu
menurunkan peti kedasar lautan supaya pelan-pelan dengan berdoa: بـِـــــــــــــــــــــــــسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ.”.[107]
Dalam kitab ini juga, kiai Maisur mengkritisi adat budaya
jawa yang bertolak belakang dengan kosep fiqh. Beliau menuturkan keritik beliau
sebagai berikut:
“cara memandikan mayit dipangku hendaknya
dijauhi betul-betul mengingat wajib menjaga cara-cara Islam didalam memandikan
mayat, yakni menghindari التَّضَمُّخْ فِيْ الْمُسْتَقْدِرَاتْ
yang tidak dibutuhkan yang bisa diganti dengan cara yang lebih utama, yaitu
cara memandikan mayat Islam yang sudah dilaksanakan oleh nabi Muhammad SAW dan
para sahabatnya .... ketika mayit di liang kubur dan akan ditimbun itu tidak
boleh diadzani dan diiqomati karena bukan waktunya adzan dan iqomah. Namun hal
ini sudah merata di negara kita. Adapun hukumnya adzan dan iqomah ketika mayat
akan dikubur itu termasuk bid’ah mungkaroh seperti yang ditutur dalam
kitab Fatawi al-Kubro Ibni Hajar juz II hal.17 .... ”.[108]
[1] Arief Furchan dan Agus Maimun, “Studi Tokoh; Metode Penelitian Mengenai
Tokoh”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 99-100.
[2] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid Maisur Sindi di kediamannya Pon. Pes. Ringinagung Keling
Kepung Pare Kediri pada tanggal, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[3] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[4] Nahdlotul
Ulama, disingkat NU, artinya kebangkitan ulama. Sebuah organisasi yang
didirikan oleh para Ulama’ pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rojab 1344 H di
Surabaya. Sulaiman Fadeli dan Muhammad Subhan, “Antologi NU:
Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah”, (Surabaya: Khalisna, 2007), h. 3.
[5] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[7]
Wawancara ke tiga dengan ‘Irfan Hamid di rumah kediaman
Pon. Pes. Ringinagung pada tanggal, 13 Mei 2015 jam 20.00-20.30.
[9] Wawancara pertama dengan Hamid Irfan, 19 April 2015 jam 19.00-19.40. dan wawancara ke tiga dengan ‘Irfan Hamid di rumah kediaman pada tanggal,
13 Mei 2015 jam 20.00-20.30.
[10] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015
jam 19.00-19.40.
[12]Muhammad Yasin
Baihaqi, “Az-Zabīd fī Ba’dli Manāqib as-Syaikh Abdil Hāmid”, (Kediri:
t.p., t.t.), h. 3-5.
[13] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid ke tiga di rumah kediaman pondok pesantren Mahir ar-Riyadl
Ringinagung Keling Kepung Pare Kediri pada tanggal, 13 Mei 2015 jam
21.00-21.30.
[14] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[16] Tim Kelas III MTs 2006, “Album Memori al-Manna; Guyub Rukun Menuju Cita
& Asa”, (Kediri: Pondok Pesantren Mahir Ar-Riyadl Ringinagung, 2006),
h. 80.
[17]Ahmad Maisur Sindi, ‘Umdah al-Fudlolā’ Syarh ’ala Tadrib An-Nujabā’, (Kediri:
Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 1.
[18] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[19]Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid ke dua di rumah kediamannya Pondok Pesantren Mahir
Ar-Riyadl Ringinagung Keling Kepung Kediri pada tanggal, 25 April 2015 jam
18.30-19.50.
[20] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[21] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[22] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[23] Wawancara
dengan Hamid Irfan, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[24] Kiai Hasyim
Asy’ari lahir di desa Gedang, selatan kota Jombang pada hari selasa 24 Dzul
Qo’dah 1287 H/ 1871 M di bawah asuhan kedua orang tuanya. Beliau memulai
pendidikan dengan belajar Alquran dan dasar agama dari ayahnya. Kemudian
melanjutkan pendidikan ke berbagai pesantren di nusantara diantaranya di pondok
Shona, pondok Siwalan Panji, Sidoharjo, pondok Lancitan, Tuban, dan pondok
Bangkalan, Madura di bawah asuhan kiai Kholil. Selain itu beliau melanjutkan
pendidikan di Makkah dan tanah haram kira-kira 10 tahun. Beliau wafat pada
tanggal 7 Romadlon 1366 H/ 1947 M di kediamannya, Tebu Ireng Jombang. Hasyim Asy’ari, adab al-‘alim wa
al-Muta’allim, (Jombang: Maktabah al-Turats al-Islami, 1387 H), h. 3-7.
[25] Tahun ini didapatkan dari analisis tahun keberangkatan yai Maisur
ke Tebu Ireng dan berdirinya Madarasah Mafatih al-Huda di Jampes yaitu tahun
1942.
[26] Muhammaad
Ilham Syah Almuttaqi, “Konsep Pedndidikan Akhlak Menurut Hasyim Asy’ari Dalam
Kitab Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim” (Skripsi, STAIN Salatiga, Salatiga,
2013), h. 39-40.
[27] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[28] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[30] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[32] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[33] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[34] Agus Hamid
menggambarkan perkataan guru al-amrithi kepada yai Maisur pada saat ujian
hafalan alfiyah 500 bait kepada yai Masur yang berdiri di luar ruang kelas; “kae’
sopo kae’. jajali bocah cilik neng jobo kae’. Ke’ne’ mengare’p jajali apal opo
ora?!”. Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam
18.30-19.50..
[35] Menurut cerita
Agus Munsif Maisur, kekecewaan guru tersebut bukan hanya diluapkan dengan
hukuman jejer saja namun, guru tersebut juga memukulkan telapak tangan
kanannya ke pengapus di atas meja. Wawancara dengan Munsif Maisur di
Kantor Madarasah al-Asna Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung Keling
Kepung Kediri pada tanggal, 10 Mei 2015 jam 09.30-11.30.
[36] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[37] Wawancara
dengan Hafizh Ghozali di rumah kediaman pondok pesantren Ringinagung Keling
Kepung Kediri pada tanggal, 24 April 2015 jam 19.40-21.10. Busro al-Mughni, “Syaikh
Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kediri”, (kediri: Jampes Kediri, t.t.),
h. 34.
[38] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[39] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[40] Dikalangan
para kiai Jawa, Syaikh Mahfuzd at-Turmusi terkenal sebagai seorang ahli hadits.
Beliau juga diakui sebagai seorang Isnad (mata rantai) yang sah dalam
transisi intlektual pengajaran kitab Shohih al-Bukhori.. Beliau
mengarang sejumlah kitab tentang berbagai disiplin keislaman, seluruhnya ditulis
dalam bahasa arab. Goa Ghiro menjadi tempatnya mencari inspirasi. Beliau biasa
menghabiskan waktunya di gua tempat Nabi menerima wahyu-Nya yang pertama kali.
Sayang, banyak karyanya yang belum sempat cetak bahkan beberapa diantaranya
dinyatakan hilang. Setidaknya ada 20 karya beliau yang sudah dicetak,
diantaranya kitab Manhaj Dzawi an-Nadhor. Jamaluddin al-Ghozi et.al., “Selayang
Pandang Perguruan Islam “Pondok Termas” Pacitan”, ( Pacitan: Pondok Tremas,
t.t.), h. 6-7. Beliau mengajar di Makkah selama 40 tahun. Banyak murid-murid
yang berasal ari tanah air, diantaranya adalah kiai Hasyim Asy’ari, kiai Wahab
Hasbullah, kiai Muhammad Bakir Djogja, kiai Asnawi Kudus, kiai Ma’shum bin
Muhammad Lasem. Muhammad Mahfuzh at-Trusmusi, al-Minhah al-Khoiriyyah, (Jakarta:
As-Syuun ad-Diniyyyah al-Jumhuriyyah al-Indonesiyyah, 2008), h. 10 & 14.
[41] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[43] Ibid., h.
35-36.
[44] Wawancara
dengan Hafizh Ghozali di rumah kediaman pondok pesantren Ringinagung Keling
Kepung Kediri pada tanggal, 24 April 2015 jam 19.40-21.10.
[45] al-Mughni,
“Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kediri”, h. 36.
[47] Mengenai
profil kitab ini insya Allah akan dibahas di sub bab selanjutnya. Wawancara
dengan Hamid Irfan ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[48] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[49] al-Mughni,
“Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kediri”, h. 34.
[50] Ibid.
[51] Riwayat ini
berdasarkan kesimpulan hasil wawancara dengan Munshif Maisur di Kantor
Madarasah Al-Asna Pondok Pesantren Ringinagung pada tanggal, 10 Mei 2015 jam
10.00-11.30, dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50, dan
dengan Munif cucu kiai Ihsan di rumah Kediaman pondok pesantren al-Ihsan Jampes
Kediri pada tanggal 13 Mei 2015 jam 15.30-16.00.
[52]Diriwayatkan
bahwa selepas kiai Mushlih berpindah dari jampes, kiai Ihsan mengikutkan
beberapa santri Jampes untuk ikut menyertai kiai Mushlih ke Tanggir Tuban.
Wawancara dengan Munif di rumah Kediaman pondok pesantren al-Ihsan Jampes
Kediri pada tanggal 13 Mei 2015 jam 15.30-16.00.
[53] Wawancara
dengan Munif di rumah Kediaman pondok pesantren al-Ihsan Jampes Kediri pada
tanggal 13 Mei 2015 jam 15.30-16.00.
[54] Wawancara
pertama dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[55] Wawancara
pertama dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[56] Yang
dikehendaki dengan kata “adikku” oleh kiai Ihsan adalah kiai hayat putra
kiai Khazin paman kiai Ihsan. Sebagaimana pernah disebutkan, KH. Dahlan putra
kedua Nyi. Isti’anah. Kakak KH. Dahlan yang bernama Mubarak wafat pada usia 39
tahun dalam keadaan masih membujang. Sedangkan adiknya yang bernama Muhajir
setelah kembali dari belajar di pesantren ia pun mendirikan pesantren di kampung mertuanya di desa Bendo Pare
Kediri pada tahun 1911 M. Ia kemudian dikenal dengan nama KH. Khazin pengasuh
[pertama] pesantren Bendo. Dengan demikian kiai Khazin atau Muhajir bendo adalah
paman kiai Ihsan bin Dahlan. al-Mughni, “Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kediri”, h.
16.
[57] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[58] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[59] Tim Kelas Tiga
Mts Raudlotul Huda 2001, “Memori al-Izza Sal Sabili”, (Kediri: Pondok
Pesantren Darul Hikam Bendo pare Kediri, 2001), h. 29, 32 & 33.
[60] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25
April 2015 jam 18.30-19.50.
[62] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25
April 2015 jam 18.30-19.50.
[63] Tim Kelas Tiga
Mts Raudlotul huda 2001, “Memori al-Izza Sal Sabili”, h. 46, wawancara
dengan Hafizh Ghozali di Rumah Kediamannya Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl
Ringinagung Keling Kepung Kediri pada tanggal, 17 April 2015 jam 20.00-21.10,
dan wawancara dengan di Rumah Kediamannya Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl
Ringinagung Keling Kepung Kediri pada tanggal, 17 April 2015 jam 20.00-21.10.
[65] Wawancara dengan Burhanuddin di kantor Madarasah al-Asna pondok Pesantren
Mahir ar-Riyadl Ringinagung pada tanggal, 16 Rajab 1436 H. dan Wawancara dengan
‘Irfan Hamid ke tiga di rumah kediaman pondok pesantren Mahir ar-Riyadl
Ringinagung Keling Kepung Pare Kediri pada tanggal, 13 Mei 2015 jam
21.00-21.30.
[66] Tim Kelas Tiga
MTs al-Asna 2004, “Memori Rama; Raudlotul Ashdiqō’ bī Madrasatil Asna”, (Kediri:
Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung Keling Kepung Pare Kediri, 2004),
h. 12, 22, 43.
[68]Semoga Allah memberikan kemanfa’atan kepada kita semua melalui kiai Imam
Nawawi dan keluarga besar serta penerusnya. Amin. Ibid., h. 28.
[70] Wawancara dengan agus Nashruddin pada acara sidang Triwulan Madarasah
al-Asna di kantor madarasah al-Asna Pondok Pesantren Ringinagung pada tanggal,
23 Mei 2015 jam 21.00-22.00.
[72] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[73] Wawancara
dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[74] Tim Kelas III Mts al-Asna 2005, “album Memori El-Asna; Simbol Keluhuran
Jiwa”, (Kediri: Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, 2005), h. 50.
[75] Tim Kelas III Mts al-Asna 2002, “silfana; Sirojul Fata al-Asna”,(Kediri:
Pondok Pesantren mahir ar-Riyadl Ringinagung, 2002), h. 112.
[78] Ibid. 50-51.
[79] Ibid.
[80] Ibid., 46.
[81] Kalam Syair adalah kata-kata
yang disusun dengan wazan ( not) dengan penyusunan yang disengaja
menggunakan wazan bahasa arab (fa’ūlun, mafā’ilun, mufā’alatun, dst).
Ahmad Maisur Sindi, al-Ibdā’ al-Wāfī fī ‘Ilmayi al-‘Arūdli wa al-Qowāfi, (Kediri:
Pondok Pesantren Mahir Ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 4.
[82] Ahmad Maisur
Sindi, Nail Al-Amāl Fī Qowāid Al-I’lāl, (Kediri: Pondok Pesantren Mahir
Ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 3.
[84] Disebut
dengan bahar thowīl yang berarti
panjang karena bahar ini adalah bahar yang paling banyak memuat huruf.
Sindi, Ibdā’ al-Wāfi, h. 7 dan 52.
[87] Sindi, Ibdā’
al-Wāfi, h. 7 dan 56.
[89] Ahmad Maisur
Sindi, Tamhīd al-Albayān fī Tajwīd ash-Shibyān, (Kediri: Pondok
Pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 66.
[90] Ibid., h. 1.
[91] Ahmad
Maisur Sindi, Tahdīb al-Lisān, (Kediri: Pondok Pesantren
Mahir ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 1.
[92] Ahmad Maisur
Sindi, Tadrīb An-Nujabā’ fī ba’dli Isthilāhāt al-Fuqohā’, (Kediri: Pondok
Pesantren Mahir ar-Riyadl, 1418 H),
h. 2.
[93] Sindi, Tadrīb An-Nujabā’ fī ba’dli Isthilāhāt al-Fuqohā’, (Kediri:
Pondok Pesantren Lirboyo, t.t.), h. 99.
[94]Wawancara
dengan Hafizh Ghozali di Rumah Kediamannya Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl
Ringinagung Keling Kepung Kediri pada tanggal, 17 April 2015 jam
20.00-21.10.
[95] Ahmad Maisur Sindi, “‘Umdah al-Fudlolā’ Syarh ‘ala Tadrīb an-Nujabā’”, (Kediri: pondok pesantren Mahir ar-Riyadl,
Ringinagung, t.t.), h. 181-183.
[96] Ahmad maisur Sindi, Ats-Tsamarot adh-Dhohirat bitarjamah al-Waroqot
az-Zahirot, (Kediri: pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, 1993),
h. 108.
[97] Ahmad Maisur Sindi, “Al-Hawāshil al-Munadldlirrōt fī Abniyyāt al-Auqōt
wa al-Jihāt”, (Kediri: pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung,
t.p.t.t.), h. 8
[98] Ibid., 110.
[99]
Ahmad Maisur Sindi, “Al-Intibāh fī Syair
Pekorlas (Pemberantasan Korupsi Lahiriyyah Sholat)”, (Kediri: pondok
pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 1.
[100] Wawancara dengan Wahid di Kantor Keamanan dan ketertiban (Kantib) pondok
pesantren Ringinagung Keling Kepung Kediri pada tanggal, 03 Juni 2015 jam 21.30-21.59.
[103] Ahmad Maisur Sindi, “Risālah fī al-Fasīk”, (Kediri:
pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 1
[104] Ahmad Maisur Sindi, “Risālah Tanbīh fī nahdloh al-‘Ulamā’”, (Kediri:
pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 4.
[105] Ahmad Maisur Sindi, “Risālah Ma’mūm Muwāfiq lan Ma’mūm Masbūq”,
(Kediri: pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 3 & 4.
[106] Ahmad Maisur Sindi, “at-Tamrīdl”, (kediri: pondok
pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, 1996), h. i.
Maaf, kalau boleh tahu, ini makalah atau skripsi y? Misal ada bentuk jurnal online-nya, boleh saya minta link alamatnya?
BalasHapusAssalamualaikum abang klo saya pngen nanya2 dama penulis gmn?
BalasHapusALLOHUMMA SHOLI NGALA MUHAMMAD WASALIM
BalasHapus