Selasa, 28 Juli 2015

bab II konsep akhlak mulia bagi pelajar/ kiai masiur sindi



BAB II
BIOGRAFI

A.     Riwayat Hidup Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Riwayat Hidup tokoh memuat riwayat kehidupan (identitas diri) yang meliputi nama lengkap atau nama kecil, tempat, tanggal lahir, alamat, keluarga dan sebagainya.[1] berikut adalah riwayat kehidupan Kiai Ahmad Maisur Sindi:  
1.      Nama Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Nama kecil kiai Ahmad Maisur Sindi adalah Muhammad Syairozi. Nama ini masih beliau gunakan sewaktu nyantri di pondok Lirap, Tebu Ireng dan Jampes. Kemudian setelah pindah nyantri di pondok  Darul Hikam Bendo,  beliau mengganti nama kecilnya dengan Ahmad Maisur Sindi. At-Tursyidi adalah kata yang biasa dijumpai dan dibubuhkan di belakang nama kiai Ahmad Maisur Sindi pada cover kitab karya-karyanya. Kata at-Tursyidi merupakan kata yang dinisbahkan kepada desa Tursyidi Lor. [2]
2.      Tempat Dan Tahun Kelahiran Kiai Ahmad Maisur Sindi. 
Kiai Ahmad Maisur Sindi lahir di desa Tursidi Lor, Kec. Pituruh, Kab. Purworejo, Jawa Tengah.[3] Beliau lahir dari nasab orang-orang yang taat memeluk agama Islam. Beliau hidup dalam lingkungan keluarga yang memegang teguh ajaran Islam; Ahli Sunnah waljamā’ah. Kiai Maisur lahir pada tahun 1344 Hijriyah, atau kurang lebih tahun 1926 Masehi, bertepatan dengan tahun berdirinya Jam’iyah Islam NU (Nahdlotul Ulama).[4] Adapun mengenai tanggal dan bulan kelahiran kiai Maisur belum ada data dan saksi hidup yang dapat menjelaskan.[5]
Keadaan lingkungan masyarakat Tursidi Lor semasa kecil kiai Maisur Sindi mayoritas sudah memeluk agama Islam, bahkan hampir seluruhnya. Namun, kebanyakan  dari mereka masih memeluk kepercayaan kebathinan yang dikenal dengan Islam Klenik; Islam Kejawen; dam Islam Darmo gandul. Hampir mayoritas penduduk desa tersebut menganut kepercayaan kebatinan. Hanya sekitar 25 % saja dari masyarakat desa tersebut yang mau menganut dan mengamalkan ajaran agama Islam secara utuh, dengan cara menganut ajaran Syari’at Islam Ahli Sunnah waljamā’ah. Diantara 25 % penduduk yang taat beragama Islam tersebut adalah keluarga kiai Maisur. Walaupun keadaan masyarakat Tursidi Lor masih demikian minus taat beragama Islam namun, mereka semua tetap bisa hidup berdampingan dengan  tentram  dan damai. Belakangan, keadaan mayoritas masyarakat desa Tursidi Lor mulai berubah setahap demi setahap menjadi masyarakat yang taat beragama, walaupun perubahan itu belum 100 %. Perubahan itu terjadi diantaranya karena sarana informasi dan dakwah sudah masuk lingkungan masyarakat tersebut.[6] Berdasar keterangan salah satu saksi hidup, setelah kiai Maisur bermukim di Ringinagung, beliau pun tetap menyempatkan diri untuk berkunjung ke tanah kelahiran beliau diantaranya guna berdakwah.[7]
3.      Orang Tua dan Kakek Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Ayah kiai Ahmad Maisur Sindi bernama Muhammad Tsarbini bin Syafi’i. Jauh sebelum kiai Ahmad Maisur Sindi hijroh ke pondok Ringinagung, ayahnya Muhammad Tsarbini sudah pernah nyantri di pondok Ringinagung dibawah asuhan Kiai Imam Nawawi. Kiai Tsarbini dianugerahi lima orang anak dari tiga Istri. Dari istri pertama, kiai Tsarbini dianugerahi dua orang anak, yang pertama seorang putri bernama nyai Maisaroh dan yang kedua seorang putra bernama kiai Maisur sindi. Setelah istri pertama beliau wafat, kiai Tsarbini menikah kembali dan dari istri kedua ini kiai Tsarbini dianugerahi dua orang anak, yang pertama bernama nyai Mashithoh dan yang kedua seorang putra bernama H. Syaibani. Setelah istri kedua meninggal kiai Tsarbini menikah untuk yang ketiga kalinya dan dianugerahi satu orang anak laki-laki yang diberi nama ‘Adhiman. Kiai Maisur adalah anak kedua dari istri pertama.[8]
Kakek kiai Maisur sindi dari jalur ayah adalah Mbah haji Syafi’i. Pada masa hidupnya, beliau adalah seorang yang pertama kali mendirikan masjid di desa Tursidi Lor, serta sebagai sesepuh yang mbabat (membuka) desa Tursidi Lor. Seperti kiai Syarbini, Mbah haji Syafi’i selama hidup pernah menikah selama tiga kali berturut-turut.[9]
4.      Istri Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Kiai Maisur menikah dengan nyai Umahatun yang merupakan putri nyai Zainatun binti nyai Syafa’atun binti nyai Sapurah binti kiai Imam Nawawi  pendiri pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung Keling Kepung Kediri. Kiai Maisur sepanjang hayatnya hanya menikah satu kali saja yaitu dengan nyai Umahatun tersebut.[10]
Nyai Umahatun sejak kecil hidup dibawah asuhan neneknya nyai Syafa’atun, dikarenakan ibunya nyai Zanaitun telah wafat pada saat nyai Umahatun berumur 4 tahun dan kakaknya kiai Zaid masih berumur  kira-kira 7 tahun.[11] Nyai Umahatun adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya kiai Zaid Abdul Hamid (W. 2009 M) adalah salah satu pengasuh pondok pesantren Mahir ar-Riyadl periode ke tiga serta, pendiri Pondok Pesantren Putri Ishlahiyyatul Asroriyyah Ringinagung Keling Kepung Kediri. kiai Zaid yang merupakan kakak ipar kiai Maisur, sama seperti halnya kiai Maisur. Sejak kecil kiai Zaid sudah mengenyam pendidikan di berbagai pesantren di bawah asuhan ulama’ terkemuka di masanya. Diantara pesantren yang beliau singgahi adalah pesantren Tebu Ireng dibawah asuhan kiai Hasyim, pesantren Lirboyo dibawah asuhan kiai Abdul Karim, kiai Mahrus Ali dan kiai Marzuqi, pesantren Kencong Pare dibawah asuhan kiai Zamroji, pesantren Lasem Rembang dibawah asuhan kiai Mashduqi dan pesantren Peta Tulungagung dibawah asuhan kiai Jalil dan kiai Mustaqim. Kira-kira rihlah kiai Zaid dari pondok ke pondok tersebut memakan waktu kira-kira ± 30 tahun.[12]
Nyai Syafa’atun adalah cucu kedua kiai Imam Nawawi dari putri pertama yang bernama Sapurah. Walaupun seorang wanita, semasa hidupnya beliau dikenal sebagai sosok yang disegani dan memiliki pengaruh besar. Selain beliau merupakan cucu dari kiai Imam Nawawi, beliau juga dikenal dengan sosok embah nyai yang memiliki kemampuan lebih, bisa mengobati berbagai macam penyakit dan menyelesaikan masalah-masalah yang menimpa orang lain. Banyak masyarakat dari daerah kediri dan malang serta orang-orang asing, semisal orang-orang belanda dan orang-orang cina yang sering datang berkunjung ke rumah nyai Syafa’atun demi untuk berobat atau mencari solusi atas permasalahan yang sedang menimpa mereka.[13]
5.      Putra-Putri Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Kiai Maisur dianugerahi empat orang anak, yang pertama adalah seorang putri bernama nyai Sri Ro’fah yang sekarang bermukim di Banten. Anak yang ke kedua adalah seorang putra bernama kiai Munif Abdul Kafi yang sekarang bermukim di Purworejo Jawa Tengah. Anak yang ke tiga dan ke empat adalah kiai Muhammad Munshif Abdul Haqqi dan, kiai Abdul Hamid atau ‘Irfan Hamid yang keduanya sekarang bermukim di pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung dan sebagai sebagian dari beberapa pengasuh yang masuk pada periode ke empat dari kiai Imam Nawawi.[14]
6.      Wafatnya Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Salah satu santri Ringinagung yang merupakan guru dan senior peneliti telah mengabadikan waktu wafatnya kiai Ahmad Maisur Sindi dalam sembilan bait syair berbahasa jawa bertuliskan pegon sebagai berikut:
ياهي ميسور سيدا تاغكال صاغـــــا صفــر { سيدا سكيتار جام فافات واقت عصر
سوو فاتاغ اتوس نمبــــــلاس  تـــــــاهـــــــــــــــــــــــــوني { دينـــا سبت ايكولاه دينــــا سيــــــــــــــــــــــــداني
نولي دي ساري اكي اغ دينــــــا أحـــــــــــــــــــــــــــد { تاغكال سفولوه ديناني دينو أحــــــــــــــــــــــد
دي سارئ كي إغ فوندوك ماهر الرياض { كوطــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــا كديري علامتي الرياض
فارا دولور أيو كيطا فـــــــــــــــــــــــــــــودا دوعـــــــــــــــــــــا { كانطي خشوع أيو كيطــا فودا دوعـــــــــــا
موك عمالي ياهي ميسور دي تريمــــــــــــــــــــــــــــــا { اونو عرساني كوستي كاع موهو لومــــــــــا
اوكــــــــــــــــــا موكـــــــــا كابيه دوصــــــــا دي سفـورا { دينيغ الله ذات كاع دي سوفريه سفورا
دوصا مــــاراغ الله مـــاراغ مخلــــــــــــــــــــــوق اوكـــــا { نولي أخري مانجيغ اونو سوواركـــــــــــــــــــــــــــــــــا[15]
Kiai Ahmad Maisur Sindi wafat pada hari sabtu menjelang Sholat ‘ashar tepatnya pada tanggal 09 Shofar tahun 1416 H/ 08 Juli 1995/1996 M. di kediaman beliau Ringinagung Keling Kepung Kediri Jawa Timur, pada usianya yang ke 72 dan disemayamkan pada hari Ahad waktu Dhuha di sebelah barat Masjid Ringinagung.[16]
Adapun Istri beliau nyai Umahatun wafat pada tahun 2007 M. Semoga Allah ta’āla mengampuni segala kesalahan beliau berdua dan menerima segala amal baik beliau berdua serta menempatkan beliau berdua di tempat yang mulia; surga.
   
B.     Riwayat Pendidikan Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Kiai Ahmad Maisur Sindi semasa kecil tumbuh dan berkembang langsung di bawah pengawasan dan didikan orang tuanya. Beliau belajar dasar-dasar ilmu agama Islam kepada ayah beliau sampai pemahamannya tertancap di dalam dada serta akalnya telah sempurna dengan kecerdasannya.[17]
Setelah kiai Maisur lama belajar di bawah asuhan dan didikan orang tuanya dan setelah beliau menamatkan pendidikan formal SR (Sekolah Rakyat/ Ongko Loro), akhirnya, beliau memulai rihlah (perjalanan) panjang menuntut ilmu agama dari pondok ke pondok yang masyhur di zamannya. Rihlah panjang itu kira-kira dimulai sejak beliau masih berumur 9 tahun. Jika dianalisis berdasarkan tahun kelahiran dan usia keberangkatannya ke pondok yang pertama, maka dapat diketahui bahwa tahun keberangkatan kiai Maisur menuntut ilmu dimulai sejak tahun ± 1353 H / 1934 M.[18]
Berikut adalah riwayat dan periodik pendidikan kiai Ahmad Maisur Sindi dari pondok ke pondok berdasarkan dokumentasi dan hasil wawancara dengan saksi hidup: 
1.      Pendidikan di Pondok Pesantren Lirap, Kebumen.
Di Pondok Pesantren ini, kiai Maisur pertama kali memijakkan kakinya sebagai seorang pelajar dan santri yang jauh dari kampung halamannya. Beliau belajar dibawah asuhan asy-Syaikh al-‘Ālim al-Allāmah kiai Ibrahīm. Di Pondok Pesantren ini beliau belajar dan memperdalam ilmu alat semisal ilmu shorof dan nahwu.[19]
Pada saat kiai Maisur nyantri di Pondok Lirap,  beliau memiliki salah seorang guru khoth yang profesional.[20] Guru beliau tersebut bukan hanya bagus dalam tulis menulis saja, tetapi juga merupakan guru yang sabar dalam mendidik murid-muridnya, tegas, disiplin, serta bertanggung jawab. Dengan kepribadian guru beliau yang tampak profesioanal itu, wajar jika di kemudian hari kiai Maisur tertarik untuk mengikuti jejaknya. Sang guru pernah berkata kepada beliau, bahwa guru beliau itu santri lulusan Pondok Tebu Ireng. Guru beliau menyarankan kepada kiai Maisur Sindi agar kelak setelah selesai belajar di Lirap sebaiknya melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Tebu Ireng.[21]
Setelah kurang lebih tiga tahun belajar dan menjadi santri di pesantren Lirap, kira-kira tahun ± 1353 H/ 1934 M sampai ± 1356 H/ 1937 M, kiai Maisur yang saat itu masih berkisar umur 11 tahun bertekad untuk melanjutkan pendidikan ke Pondok Tebu Ireng mengikuti saran dan anjuran sang guru khot idolanya. Kepergian beliau ke pondok Tebu Ireng ditemani oleh seorang temannya yang bernama Dalail dari desa Blekatuk, merupakan desa tetangga Tursidi Lor.  Kelak setelah menunaikan ibadah haji, teman kiai Maisur ini dikenal dengan sebutan kiai Abdul Hamid.[22]
2.      Pendidikan di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang.
Di pondok pesantren Tebu Ireng Jombang ini, kiai Maisur belajar berbagai macam disiplin ilmu agama. Beliau mengenyam pendidikan di bawah asuhan kiai Hasyim Asy’ari.[23] Diperkirakan kiai Hasyim Asy’ari saat itu telah menginjak umur 60 tahunan, umur yang sudah menampakkan keteduhan dan kematangan jiwa.[24] 
Kepribadian kiai Maisur yang baik berupa teliti, disiplin, dan penuh tanggung jawab  kebanyakan diperoleh di pondok Tebu Ireng. Pendidikan yang dilalui oleh kiai Maisur di Tebu Ireng kira-kira dimulai semenjak tahun ± 1356 H/ 1937 M, sampai tahun ± 1361 H/ 1941 M.[25]
Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang didirikan oleh kiai Hasyim Asy’ari pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H. bertepatan dengan tahun 1899 M. Pondok pesantren Tebu Ireng baru diakui secara resmi oleh pemerintahan belanda pada tanggal 6 Februari 1906 M/ 1324 H. Kemudian sejak tahun 1910 M/1328 H, pondok Tebu Ireng mulai memainkan peranan yang dominan dalam pelestarian dan pengembangan pesantren dan menjadi sumber penyedia yang paling penting untuk kepemimpinan pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Dengan diterapkannya sistem yang bersifat baru (modern) berupa pengadaan lembaga madarasah di pesantren Tebu Ireng dengan tetap melestarikan subtansi ajaran Islam Ahli Sunnah wal Jamā’ah oleh kiai Hasyim Asy’ari, maka kini lembaga tersebut tetap diakui sebagai lembaga pendidikan nasional yang mantap dan diharapkan bisa membentuk dan membina kepribadian masyarakat.[26]
Dengan berdasar keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pondok Tebu Ireng di saat kiai Maisur nyantri sudah merupakan pondok yang berkualitas dan berbobot dan sudah memiliki lembaga madarasah dan peraturan-peraturan yang sistematis. Sehingga tak hayal jika kelak kiai Maisur memiliki kesiapan untuk memprakarsai dan membantu pendirian madarasah di daerah Kediri yaitu di pondok pesantren Jampes, Bendo dan Ringinagung.[27]
Ada riwayat yang menarik untuk disampaikan mengenai keberangkatan kiai Maisur menuju Tebu Ireng. Perjalanan kiai Maisur dalam menuntut ilmu ke pondok Tebu Ireng bersama temannya; kiai Dalail tidak membawa uang saku yang cukup untuk naik kendaraan. Keberangkatan beliau berdua hanya bermodalkan cengke’r dan bone’k.[28]
Dengan modal keterangan yang diperoleh dari guru kiai Maisur di pondok Lirap tentang rute pondok Tebu Ireng Jombang, bahwa pondok Tebu Ireng itu berada di sebelah selatan kota Jombang sekitar 10 km, dan kota Jombang bisa ditempuh dengan cara mengikuti jalur kereta api lurus ke arah timur dari Purworejo, maka kiai Maisur dan kiai Dalail yang lebih tua tiga/empat tahun umurnya sepakat untuk melakukan perjalan menuju pondok Tebu Ireng dengan cara berjalan kaki dengan berbekal seadanya berupa pakaian, kitab-kitab yang dimiliki dari pondok Lirap dan sedikit uang saku.[29]
Kepergian Kiai Maisur ke pondok Tebu Ireng dengan tanpa memberi tahu terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya. Hal itu dilakukan bukan karena beliau tidak taat kepada kedua orang tua, melainkan karena kekhawatiran beliau jika berpamitan beliau tidak mendapatkan restu dan izin dari kedua orang tuanya karena beberapa faktor yaitu; usia beliau yang masih berumur 11 tahun, jarak antara Purworejo dan Jombang yang jauh, serta pemerintahan yang kala itu dikuasai oleh pemerintahan belanda; kolonel. Walaupun beliau tidak berpamitan dengan kedua orang tuanya, namun beliau bertekad kelak jika sudah sampai di pondok Tebu Ireng beliau akan memberi kabar kepada kedua orang tuanya melalui surat.[30]
Dalam perjalan menuju Tebu Ireng, Maisur kecil dan Dalail menggunakan fasilitas yang disediakan oleh kepala desa yang berada di sekitar jalur kereta api. Dahulu kala; pada masa pemerintahan belanda, ada ki Demang yang sekarang disebut dengan lurah atau kepala desa yang memberikan jaminan berupa makanan [disebut congkok] pada setiap malam kepada penjaga malam disepanjang jalur kereta api. Dengan menggunakan kitab-kitab yang diperoleh dari pondok Lirap, beliau menjadikan kitab-kitab itu sebagai bukti penguat kepada ki Demang bahwa beliau adalah seorang santri yang akan melanjutkan pendidikan di Tebu Ireng agar beliau bisa diizinkan menginap di rumah Ki Demang. Jika malam hari, beliau berdua menyempatkan ikut ronda; jaga malam agar dapat ikut makan dari congkok pemberian ki Demang. Ketika siang hari mereka berdua meneruskan perjalanan menyusuri rel kereta api. Jika menemukan para petani sedang mengunduh hasil panen, mereka berdua turut membantu memanen dan mendapatkan sarapan dari para petani tersebut. Jika melewati kuburan, mereka berdua berhenti sejenak untuk memetik buah-buahan yang tumbuh di pekarangan pekuburan yang tak bertuan tersebut semisal mangga sebagai pengganjal perut. Begitulah kira-kira pahit manis perjalanan Maisur kecil dan Dalail menuju pondok pesantren  Tebu Ireng.[31]
Pada saat akan melewati hutan Saradan, Ngawi. Maisur kecil dan Dalail berhenti sejenak di warung yang terletak di pinggir hutan dusun terakhir sebelum hutan Saradan. Beliau berdua kemudian diberi pengertian kepada penjual warung setelah mereka berdua menceritakan prihal perjalanan menyusuri rel kereta api agar tidak melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, karena hutan Saradan masih banyak hewan-hewan buasnya. Penjaga warung berkata kepada Maisur Kecil, “ .... alase’ ki jek winge’t lo, le’. Jek akeh hewan-hewan buas. Numpak motor wae !!! ojo melaku.”. (hutannya itu masih ganas/angker lo, nak. Masih banyak hewan-hewan buas. Naik mobil saja !!! jangan berjalan kaki.). Karena beliau tidak memiliki ongkos untuk naik kendaraan, maka beliau pun menjual pakaian yang akan digunakan sebagai ganti ketika di pondok Tebu Ireng kepada penjual warung tersebut guna untuk ongkos naik kendaraan melewati hutan Saradan. Kira-kira perjalanan yang ditempuh mereka berdua menuju Tebu Ireng dengan berjalan kaki tersebut diselesaikan dengan memakan waktu kurang lebih satu bulan.[32]
Sesampainya di pondok, dikarenakan yai Maisur belum memberi kabar ke rumah dan belum mendapat kiriman dari orang tuanya maka beliau mencukupi hajat hidupnya di pondok dengan cara makan kerak [jawa: inte’p] dari sisa-sisa santri yang tergolong menengah ke atas. Hal itu dilakukan sampai pada akhirnya beliau mendapat kiriman dari kedua orang tuanya.[33]
Kiai Maisur pertama kali mengenyam pendidikan di Tebu Ireng, di kelas al-‘Amrīthi; setara dengan kelas satu Wusthō/Tsanawiyyah. Sebenarnya Pada saat kiai Maisur tiba di Tebu Ireng pendaftaran santri baru untuk kelas al-‘Amrīthi sudah ditutup, karena sudah melewati setengah tahun kalender pendidikan madarasah, dan yang masih dibuka hanya pendaftaran SP (sekolah Persiapan), tetapi karena tekad kiai Maisur yaitu tidak mau ikut SP dan menunggu sekolah al-‘Amrīthi pada tahun berikutnya, maka kiai Maisur memaksakan diri dan tetap  mengikuti pelajaran di kelas al-Amrīthi dengan cara mengikuti kegiatan belajar di luar ruangan kelas.[34]
Pada saat menjelang akhir tahun, guru kelas al-‘Amrīthi melakukan ujian muhāfadhah (hafalan) nadhom Alfiyah sebanyak 500 bait kepada murid-muridnya guna ditampilkan di acara akhir tahun pondok ( Ākhir as-Sannah) dan sebagai persyaratan untuk masuk jenjang selanjutnya yaitu kelas Alfiyah. Setelah guru tersebut melakukan ujian ternyata hampir semua murid di ruang kelas satu Tsanawiyah tersebut belum hafal secara lancar dan belum sesuai dengan target muhāfadhah.  Karena sedikit kecewa dengan murid-muridnya, guru tersebut memberikan hukuman jejer (berdiri) di kelas kepada mereka.[35]
Di sela-sela guru tersebut meluapkan kekecewaannya, pandangannya tertuju kepada anak kecil yang sedang berdiri di luar ruang kelas, yaitu kiai Maisur kecil. Guru tersebut lantas memanggil Maisur kecil yang sedang berdiri di luar ruangan kelas agar masuk ke dalam kelas dan menyuruhnya membaca hafalan nadhom Alfiyah. Dikarenakan Maisur kecil sudah hafal betul, dia pun membaca nadhom tersebut dengan mudah dan lancar. Atas kepandaian kiai Maisur dalam menghafal tesebut, akhirnya oleh guru tersebut beliau langsung diberi apresiaisi boleh mengikuti kegiatan sekolah di kelas al-‘Amrīthi dan pada tahun berikutnya boleh melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu setara dengan kelas dua Tsanawiyah dengan mata pelajaran Alfiyyah Ibni Mālik tanpa harus mengikuti test masuk.[36]
Di Tebu Ireng, kiai Maisur mulai mengenal dan belajar ilmu falak dan hisab (astronomi). Beliau belajar ilmu ini dari guru beliau yang terkenal dengan nama kiai Dzannun.[37]
Kepandaian kiai Maisur dalam menyusun syair-syair telah tampak ketika beliau belajar di Tebu Ireng. Pada saat ujian-ujian madarasah diadakan, kiai Maisur dalam menjawab petanyaan ujian tidak hanya menjawab dengan jawaban yang benar, tetapi juga menjawab dengan kata-kata berbentuk syair-syair berbahasa jawa. Kepandaian menyusun syair tersebut dimulai semenjak beliau belajar Alfiyyah Juz Tsāni. Setelah kira-kira empat tahun lebih belajar di Tebu Ireng tepatnya di saat beliau mengenyam pendidikan ilmu sastra berupa kitab al-Jauhar al-Maknūn, beliau mulai mencoba menyusun karya yang pertama yaitu kitab Tanbīh al-Muta’allim. Kira-kira kitab Tanbīh beliau susun pada kisaran tahun 1940/19941 M. [38]
Kitab Tanbīh al-Muta’allim  disusun atas ide dan pemikiran kiai Maisur untuk menyairkan tanbīh (peringatan/nashihat) kiai Hasyim dalam setiap pengajian-pengajian rutin yang disampaikan oleh kiai Hasyim kepada para santri di Tebu Ireng. Ide dan pemikiran beliau dalam mewujudkan  syair tersebut dimulai pada tahap akhir belajar al-Jauhar al-Maknūn. Tanbīh kiai Hasyim tersebut yang semula berupa kalam natsar, oleh kiai Maisur dicatat di buku. Catatan-catatan itu di kemudian hari beliau kumpulkan kembali dan dirangkai menjadi bait-bait syair berbahar Bashīth.  Seiring perjalanan waktu, muncul kembali dalam benak kiai Maisur untuk menambahkan bait-bait syair tersebut dengan mengambil keterangan dari lieratur kitab akhlak semisal kitab Ta’līm al-Muata’allim. Tambahan bait tersebut beliau beri kode “ziyādatī”.[39]
Setelah dirasa cukup menuntut ilmu di sana, kiai Maisur kemudian ingin melanjutkan pendidikan agamanya ke pondok terkenal dan berbobot lainya. Pondok yang diakui berbobot dan terkenal handal lulusannya saat itu, selain Tebu Ireng ada tiga; pondok Termas Pacitan, pondok Jampes Kediri dan pondok Bendo Pare. Semula kiai Maisur berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya di pondok Tremas Pacitan karena teropsesi dengan kemasyhuran kiai Mahfūzh Tremas sebagai seorang Ulama’, pengarang kitab yang produktif, sekaligus mufti di tanah Harām; Makkah yang bermukim di Masjid al-Harām sampai wafat pada tahun 1338 H/ 1920 M.[40]
Dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang dan istikhārah, beliau menjatuhkan pilihan untuk berpindah ke pondok Jampes Kediri yang saat itu telah masyhur bahwa pengasuhnya kiai Ihsan bin Dahlan baru saja menyelesaikan kitab tashawwuf berjudul Sirōj al-Thōlibīn.[41]
3.      Pendidikan Di Pondok Pesantren al-Ihsān Jampes, Kediri.
Pondok pesantren al-Ihsan Jampes didirikan oleh ayah kiai Ihsan bernama kiai Dahlan (W. 1928 M). Pondok Pesantren al-Ihsan jampes terletak di desa Putih Kec. Gampengrejo, Kab. Kediri, lima kilo Meter di sebelah barat sungai Berantas Kediri. Kiai Ihsan mulai menjadi pengasuh Pondok menggantikan ayahnya sejak tahun 1932 M sampai pada tahun kewafatan beliau 1952 M.[42]
Kiai Ihsan adalah sosok Ulama’ yang produktif dalam menyusun kitab-kitab ilmiyah agama Islam berbahasa arab. Sebagai pengasuh pesantren, beliau merasa bertanggung jawab atas murid-murid yang diasuhnya. Waktu-waktu beliau hanya dihabiskan untuk muthōla’ah, menulis kitab,  mengajar dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kegiatan agama dan pesantren. Di siang hari, waktu-waktu beliau digunakan untuk banyak mengajar dan memberi pengajian kepada para santri dan waktu senggang yang hanya sesaat di siang hari digunakan untuk istirahat siang/Qoilullah dan selebihnya masih juga digunakan untuk muthōla’ah atau menulis kitab. Sedangkan di malam hari, jika tidak ada tamu yang datang, maka sehabis mengajar para santri, beliau di belakang mejanya membaca atau menulis sambil minum kopi dan merokok yang menjadi kegemarannya sampai saat menjelang fajar  dan beliau tinggalkan mejanya itu hanya apabila hendak menunaikan Sholat sunnah di larut malam.begitulah yang senantiasa beliau kerjakan pada setiap harinya hingga praktis jam untuk tidur bagi beliau dalam sehari-hari sangat minim sekali. Dalam petuahnya beliau mengatakan bahwa jika seseorang ingin melakukan tirakat atau riyādlah, maka yang paling utama baginya harus banyak mengurangi jam tidur, terutama di waktu malam hari.[43]
Termasuk tirakat dan riyādloh kiai Ihsan seperti yang diceritakan oleh agus Hafizh Ghozali dari guru beliau, kiai Maisur adalah selalu menelaah terlebih dahulu kitab-kitab yang akan dibacakan dan diajarkan kepada para santri, walaupun beliau sudah berulang-ulang kali dan bertahun-tahun mengajarkan kitab tersebut, seperti kitab fath al-Qorīb. Padahal kiai Ihsan kiai Ihsan bukan hanya seorang kiai, tetapi juga seorang pengarang kitab yang sudah tidak diragukan lagi kealimannya. Tirakat dan Riyādloh ini dilakukan dengan harapan semua diajarkan oleh beliau kepada para santri oleh Allah ta’āla dijadikan ilmu yang bermanfa’at dan berkah.[44]
Adapun kitab-kitab yang beliau ajarkan kepada para santri antara lain adalah kitab Ihyā’ ‘Ulūmi ad-Dīn karya al-Ghozāli, Tafsīr al-Jallālain karya al-Mahalliy dan as-Suyūthi, dan kitab Tuhfah al-Muhtāj karya Ibnu Hajar al-Haitami, dan khusus dalam setiap bulan Romadlān, secara rutin beliau selalu membaca dua kitab yaitu Fath al-Mu’īn karya Zainuddin al-Malibari dan kitab al-Hikam karya Ibni At-Thā’illah as-Sakandāri, serta beberapa kitab yang lain.[45]
Kiai Maisur yang sudah tampak keilmuan dan keprofesionalannya semenjak di Tebu Ireng kemudian berpindah belajar dan nyantri di pondok pesantren Jampes Kediri. Di pondok ini beliau belajar berbagai macam ilmu agama dibawah asuhan kiai Ihsan bin Dahlan (W 1952 M). Ilmu Falak dan Hisāb beliau kembangkan di pondok ini. Kurang lebih empat tahun lamanya beliau menimba ilmu  di Pondok Jampes mulai kira-kira tahun  ± 1361 H/ 1941 M sampai tahun ± 1365 H/ 1945 M.[46]
Kepandaian kiai Maisur dalam menyusun bait-bait syair dan menyusun kitab tidak diabaikan begitu saja ketika berpindah di pondok Jampes. Di pondok Jampes ini beliau justru semakin mematangkan dan mengembangkan bakatnya. Terbukti pada saat banjir besar melanda lingkungan di sekitar sungai Brantas, termasuk pondok Jampes, beliau telah menyelesaikan kitab berbentuk syair diikuti keterangan berbahasa arab yang membahas tentang astronomi. Kitab itu dinamai dengan al-Hawāshil al-Munadlirrāt.[47]
Di Jampes, kiai Maisur juga mempelajari ilmu tashawwuf dengan mengikuti pengajian kitab Ihyā’ ‘Ulūmi ad-Dīn karya al-Ghozāli dibawah bimbingan langsung kiai Ihsan. Setidaknya mulai dari Juz satu sampai Juz dua beliau mendapatkan sanad pengajian kitab tersebut dari kiai Ihsan. Kemudian untuk Juz tiga dan Juz empat beliau kaji dibawah bimbingan kiai Hayatul Makki saat beliau pindah ke pondok Bendo, Pare. Selain itu, banyak lagi kitab-kitab yang lain yang telah beliau gurukan kepada kiai Ihsan, diantaranya kitab Mughni al-Labīb karya Ibnu Hisyām yang mengulas tentang gramatikal bahasa arab.[48]
Pondok Pesantren Jampes dalam asuhan kiai Ihsan mengalami perkembangan santri yang begitu mengembirakan, jumlah santri yang belajar di pesantrennya pada setiap tahunnya terus bertambah dengan pesatnya. Bangunan-bangunan pondok kemudian tahap demi tahap diperluas sampai seluas tempat yang ada pada saat ini yaitu di atas tangan 1,5 Hektar. Hanya saja bangunannya saat itu masih sangat sederhana sekali yaitu sebagaian besar berupa bangunan dari papan dan bambu.[49]
Untuk melengkapi pendidikan di dalam pondok pesantren yang sudah terbilang besar di waktu itu, maka pada tahun 1942 M KH. Ihsan mendirikan sebuah madarasah yang diberi nama Mafatih al-Huda (MMH). Madarasah ini berisikan tujuh jenjang kelas yang dibagi menjadi dua tingkatan, tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan tsani, yaitu masa persiapan untuk memasuki Madarasah lima tahun berikutnya (kini menjadi 12 jenjang, untuk Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah, dan Aliyyah). Madarasah yang baru didirikan itu diselenggarakan pada siang hari dan ditempatkan di beberapa komplek asrama pondok. Baru beberapa tahun kemudian Madarasah ini memiliki gedung sendiri dan diselenggarakan di pagi hari.[50]
Pada saat kedatangan kiai Maisur di pondok Jampes, kira-kira ada sekitar 400 santri yang sama menimba ilmu kepada kiai Ihsan.  Saat itu kegiatan pondok Jampes masih mengunakan metode pengajaran traditional yaitu dengan cara pengajian-pengajian bandongan dan sorokan tanpa adanya madarasah. Setelah kiai Ihsan mengetahui bahwa kiai Maisur adalah santri lulusan Tebu Ireng yang sudah lama mondok di sana, serta beliau tahu bahwa metode pendidikan yang diterapkan di Tebu Ireng sudah menggunakan sistem madarasah maka, kiai Ihsan menugaskan kiai Maisur untuk turut andil dalam pendirian madarasah di Jampes. Kiai Maisur melakukan apa yang telah diperintahkan oleh kiai Ihsan yaitu membantu mendirikan madarasah. Pada tahun 1942 M berdirilah madarasah Madarasah Mafatih al-Huda (MMH). Adapun mengenai pembangunan lokal baru madarasah yang terletak di barat pondok yang sampai sekarang masih ada kemungkinan besar merupakan jerih payah adik kiai Ihsan yang bernama kiai Muslim atas perintah kiai Ihsan.[51]
Diantara santri-santri yang satu priode dengan kiai Maisur Sindi saat itu adalah:
a)      kiai Muhammad Mushlih pendiri pondok pesantren Raudlotul Thōlibīn Tanggir Tuban, yang sebelum haji bernama Shōim,[52]
b)      kiai Ali Shodiq pendiri Pondok Pesantren Ngunut Tulungagung yang setelah belajar di Jampes pindah ke pondok Lirboyo,
c)      kiai Nur Salim dari purworejo yang dijodohkan oleh kiai Ihsan dengan gadis asal Kayen Kediri serta ditugaskan menyebarkan agama Islam di Kayen Kediri, 
d)     Kiai Wahab dari Kutoharjo yang berdakwah dan mukim di Malang.[53]
Setelah kira-kira empat tahun beliau belajar di Jampes, dan setelah melakukan tugas membantu mendirikan madarasah Mafatih al-Huda, beliau memiliki kehendak untuk pindah belajar di pondok Bendo, Pare. Pondok Bendo saat itu adalah pondok yang masyhur dikarenakan tidak sedikit santri-santri yang sudah mematangkan ilmu agama dari berbagai pondok di nusantara pindah pondok ke Bendo untuk ber-tabarruk kepada kiai Khozin yang terkenal dengan kewaliannya. Mayoritas santri yang mondok di Bendo adalah santri yang sudah tua-tua dan sudah mumpuni keilmuannya.[54]
Pada saat izin yang pertama kali untuk pindah ke Bendo, kiai Ihsan belum memberi izin kiai Maisur dikarenakan kitab Ihyā’ ‘Ulūmi ad-Dīn sebentar lagi akan khatam Juz dua. Kiai Ihsan berkata kepada Maisur, “... Syairozi, dikatamne’ sek [kitab Ihyā’ ‘Ulūmi ad-Dīn] juz loro ....”. (artinya: Syairozi, dikatamkan dulu [kitab Ihyā’ ‘Ulūmi ad-Dīn] juz dua).[55]
Setelah kitab Ihyā’ Juz dua dikhatamkan oleh kiai Ihsan Jampes, kiai Maisur dipanggil oleh kiai Ihsan dan diberi surat penghantar menuju ke pondok Bendo sebagai bentuk apresiasi dari kiai Ihsan kepada yai Maisur.  Kiai Ihsan Berpesan saat memberikan surat tersebut, “... ngene Syairozi, engko nek boyong neng bendo tak wehi surat iki, aturno marang adekku ...”. (artinya: begini, Syairozi. nanti kalau pindah ke pondok Bendo aku beri surat ini, sampaikan kepada adikku). Isi surat itu diantara adalah memberi pernyataan bahwa yang tertulis di bawah ini atas nama Muhammad Syairozi adalah santri pondok Jampes, agar diperkenankan mengikuti pengajian kitab Ihyā’ ‘Ulūmi ad-Dīn meneruskan juz tiga dan juz empat.[56]
4.      Pendidikan Di Pondok Pesantren Darul Hikam, Bendo.
Kira-kira kepindahan kiai Maisur dari pondok Jampes Ke pondok Bendo terjadi pada tahun 1945/1946 M.[57] Seperti yang telah dipesankan kepada kiai Maisur, saat beliau tiba di pondok Bendo surat penghantar dari kiai Ihsan Jampes dihaturkan kepada kiai Hayat. Bertepatan pada saat itu, kitab Ihyā’ ‘Ulūmi ad-Dīn sudah dikaji sampai pertengahan juz dua.[58]
Pondok Bendo berdiri pada tahun 1912 M. Pondok ini didirikan oleh paman kiai Ihsan Jampes yang bernama kiai Khazin. Kiai Khazin pertama kali tholabul ‘ilmi di pondok Syaikh Zainuri Mrican Nganjuk. Berpuluh-puluh tahun beliau menekuni semua pelajaran yang telah diajarkan dengan disiplin dan istiqomah sehingga beliau menjadi orang yang ‘Allamah ampuh dan ahli tasawwuf. Semula pondok Bendo yang beliau dirikan bernama Tahdzibul Fuad kemudian berganti nama dengan Darul Hikam.[59]
Pada saat kiai Maisur berada di pondok Bendo, situasi Indonesia masih sangat genting sekali. Pertempuran-pertempuran terjadi di berbagai daerah antara rakyat Indonesia dan tentara Belanda mulai tahun 1946 sampai kira-kira tahun 1949 M. Hal ini membuat orang tua beliau tidak bisa mengirimkan uang saku kepada kiai Maisur untuk biaya di pondok Bendo. Kurang lebih pernah selama satu tahun wesel tutup total. Dengan keadaan yang demikian itu maka ayah kiai Masiur tidak tega dan memintanya untuk pulang dan berhenti sejenak menuntut ilmu di pondok sementara waktu sampai keadaan aman kembali. Namun dikarenakan tekad beliau yang begitu besar dalam menuntut ilmu beliau pun tidak mau pulang ke rumah melainkan tetap berada di pondok bendo. Beliau berkata, “mati ure’p yo neng pondok. Wong gole’k ngilmune’ gusti Allah ora enggarah mati kelaparan” (artinya:  mati hidup pokok di pondok. Orang mencari ilmunya Allah tidak akan mungkin mati kelaparan). Benar saja, demi untuk menyukupi kebutuhan di pondok Bendo selama tidak dikirim beliau sempatkan diri untuk bekerja buruh di desa-desa sekitar pare pada saat libur pengajian, diantaranya sampai ke desa Sukorejo berupa membantu memanen hasil sawah yangmana upahnya beliau gunakan untuk kebutuhan di pondok selama setahun.[60]
Ada riwayat mengenai perjuangan kiai Maisur Sindi dalam mempertahankan NKRI. Tidak diketahui tepatnya tahun berapa, ketika di pondok Bendo beliau pernah ikut menjadi tentara Hisbullah yang kala itu berpusat di Somolangu. Namun tidak lama kemudian beliau keluar dari daftar tentara mengundurkan diri sebab tentara Hisbullah yang awal mula dibentuk untuk mempertahankan NKRI justru belakangan memiliki gagasan ingin mendirikan Darul Islam. Benar saja, setelah kira-kira keluar tentara Hisbullah, akhirnya satuan tentara tersebut dibubarkan oleh pemerintah Indonesia karena membahayakan NKRI.[61]  
Seperti halnya di Jampes dan Tebu Ireng, di pondok Bendo beliau juga tidak meninggalkan kebiasaannya merajut bait-bait syair dan menyusunnya dalam beberapa kitab, diantaranya adalah kitab al-Ikmāl dan Nail al-Amāl yang membahas tentang ilmu Shorof I’lāl. Selain itu, beliau juga telah turur memprakarsai berdirinya madarasah Raudlotul Huda yang sampai sekarang ini masih ada.[62] Madarasah Raudlotul Huda kira-kira berdiri pada tahun 1949 M, dengan jenjang pendidikan pada saat ini sebagai berikut: a) Madarasah Ibtidaiyah dengan masa pendidikan lima tahun, b) Madarasah Tsanawiyah dengan masa pendidikan tiga tahun, c) Majlis Musyawaroh dengan masa pendidikan dua tahun (yang diwajibkan) yang merupakan kajian-kajian kitab salaf (kitab kuning).[63]
Setelah kira-kira empat tahun di pondok Bendo, kiai Maisur diuji sakit mata yang tidak kunjung sembuh. Berulang-ulang kali beliau mencoba mengobati sakit mata tersebut namun belum juga diberi kesembuhan. Hingga suatu saat beliau sowan kepada kiai Hayat untuk meminta pertimbangan atas penyakit yang beliau sandang. Kiai Hayat lantas memberikan saran kepada muridnya Maisur untuk melakukan tirah di pondok Ringinagung. Kiai hayat berkata, “cobak-cobaklah, Maisur tirah. Tirah neng Ringinagung kana, Maisur.”(artinya: coba-coba, Maisur. Berpindah sementara. Pindah di Ringinagung sana, Maisur). Akhirnya, kiai Maisur datang ke pondok Ringinagung dalam rangka tirah sekaligus memenuhi pesan ayahandanya untuk berziaroh di makam kiai Imam Nawawi guru ayahandanya, hingga pada akhirnya beliau diambil menantu oleh nyai Syafa’atun dijodohkan dengan cucunya yang bernama nyai Umahatun dan beliau pun bermukim di sana sampai akhir hayat.[64]

C.    Kiprah kiai Ahmad Maisur Sindi Di Pondok Ringinagung.
Kira-kira pada tahun 1950 M, kiai Maisur datang ke Ringinagung. mula-mula kedatangan beliau ke pondok Ringinagung hanya bertujuan tirah untuk kesembuhan sakit mata yang sedang beliau sandang, namun pada waktu kemudian beliau pun menjadi salah satu pengasuh generasi ketiga pondok Ringinagung yang memiliki pengaruh besar dimasanya. Jumlah santri pondok Ringinagung saat beliau datang dari pondok Bendo masih berkisaran antara ± 50 dengan pengasuh dari generasi periode kesatu yang masih hidup adalah kiai Makun. Dari keterangan sebagian keluarga, saat itu ada dua tokoh yang sangat berpengaruh di pondok Ringinagung. pertama yaitu kiai Makun dan yang kedua adalah nyai Syafa’atun istri kiai Abdur Rohim yang sudah Wafat. Kedua tokoh tersebut adalah cucu kiai Imam Nawawi.[65]
Pondok Pesantren Mahir Ar-Riyadl Ringinagung bernama pendek pondok Ringinagung yang dulu dikenal dengan sebutan Pondok Keling sudah ada sejak 1,5 abad lalu, kira-kira sejak tahun ±1859 M. Pondok ini didirikan oleh kiai Imam Nawawi di atas tanah seluas 5 Hektar, terletak di kelurahan Keling Kec. Kepung kab. Kediri. Kiai Nawawi yang bernama kecil raden Sepukuh adalah keturunan sunan Kalijogo. Ayah beliau bernama raden Bustaman bin Ageng Sepupus bin Nolo Yudo bin Barat Segoro bin nyi Ageng Adi Langu binti raden Syahid/ sunan Kalijogo. Raden Bustaman hidup pada kisaran abad ke 18 (± 1800 M) menjabat sebagai penghulu keraton Solo. Raden Bustaman dianugerahi dua orang anak. Anak yang pertama seorang putri bernama Dewi Nganten Noto Projo sedangkan anak yang kedua seorang putra bernama raden Sepukuh atau Imam Nawawi.[66]
Kurang lebih tiga puluh lima tahun lamanya Kiai Imam Nawawi mengabdikan dirinya dalam menyiarkan agama Islam di Ringinagung. Setidaknya jumlah santri saat itu mencapai kira-kira ± 7000 yang bertempat di gubuk-gubuk di atas lahan seluas ± 5 Hektar. Setelah selesai membangun Masjid di atas bekas pohon beringin yang besar, kira-kira pada tahun ± 1327 H/ 1909 M,[67] kiai Imam Nawawi berpulang menghadap ke  Hadlrotillāh. Beliau wafat dengan meninggalkan dua orang putri dan satu putra. Anak pertama perempuan bernama nyai Sapurah. Anak kedua laki-laki bernama agus Burhan yang wafat ketika masih muda mendahului kiai Imam Nawawi. Sedangkan yang terakhir seorang perempuan bernama nyai Murah.[68]
Setelah kewafatan kiai Imam Nawawi dan kedua menantunya, kelangsungan pondok pesantren tidak putus begitu saja. Tercatat pada periodik-periodik berikutnya cucu-cucu beliau dengan tegar dan optimistis melanjutkan perjuangan kiai Imam Nawawi dalam memimpin pondok Ringinagung. Berikut dipaparkan beberapa periodik pengasuh pondok Ringinagung sepeninggal kiai Imam Nawawi dan kedua menantunya:
1.      Periode pertama  diasuh oleh:  a) kiai Jamhur, b) kiai Abdur Rohim, c) kiai Abu Mansur, d) kiai Abdul Majid, e) kiai Musthofa, f) kiai Ulomo, g) kiai Makun, h) kiai Muharrom, i) kiai Masram dan j) kiai Khumaidi.
2.      Periode kedua diasuh oleh:  a) kiai Abdul Hamid, b) kiai Bukhori, c) kiai Sarpan d) kiai Murtam, e) kiai Imam Faqih, f) kiai Damiri, g) kiai Abdul Qodir,  h) kiai Abdul Hadi.
3.      Periode ketiga diasuh oleh: a) kiai Abdul Hadi, b) kiai Maisur Sindi, c) kiai Zaid Abdul Hamid, d) kiai Sulthon Makun, e) kiai Rohmat, f) kiai Mu’awam, g) kiai Masud, h) kiai Muhammad Khāzin, i) kiai Ahmad Saubari, j) kiai Anwaruddin, k) Jali Romlani, l) kiai Khuzaifah Mu’awam, m) kiai Muhammad Zainuri, n) kiai Zainuddin, o) kiai Zainal Abidin, q) kiai Ahmad Selamet Rohmat dan, r) kiai Abdurrohman.[69]
Pada periode ketiga ini, dimulai dari berdirinya madasarah al-Asna tahun ± 1970 M. dan tiga pondok putri di Ringinagung jumlah grafik santri putra dan putri mengalami perkembangan yang signifikan. Puncaknya kira-kira pada tahun 1997 M. jumlah santri berkisar ± 4500. Kemudian, setelah sebagian besar dari kiai-kiai di atas menghadap ke Hadlrotillāh, dimulai setelah wafatnya kiai Ahmad Maisur Sindi (1997 M.) kiai Zaid Abdul Hamid (2009 M.) kiai Anwaruddin (2014) kiai Khazin (2014), terjadi penurunan grafik santri sedikit demi sedikit walaupun tidak begitu tajam. Grafik santri secara keseluruhan baik putra maupun putri saat ini; 2015 M. kira-kira berjumlah ± 1000 santri.[70]
Ketika tiba di pondok Ringinagung, kiai Maisur pertama kali sowan di kediaman nyai syafa’atun. Sejenak setelah menguraikan asal usul dan tujuan beliau datang, maka nyai syafa’atun yang mengerti bahwa kiai Maisur bukan hanya seorang santri saja melainkan juga seorang guru yang sudah disepuhkan di pondok Bendo meminta kiai Maisur untuk bersedia  tirah di ndalem beliau. Nyai Syafa’atun lantas menyiapkan satu ruang kamar khusus di dalam rumah bagian depan untuk tempat tirah kiai Maisur.[71]
Ketika kiai Maisur tirah di Ringinagung, banyak dari pihak keluarga besar Ringinagung dan tokoh masyarakatnya yang ingin menguji kealiman kiai Maisur karena berdasar berita yang beredar, bahwa santri yang mondok di Bendo bukanlah santri sembarangan. Kebanyakan santri yang mondok di Bendo saat itu adalah santri yang sudah pandai-pandai dan mumpuni serta berbobot keilmuannya dan biasanya mereka yang mondok Bendo hanya dalam rangka bertabarruk. Diujilah kiai Maisur dengan berbagai macam permasalahan-permasalahan hukum agama yang terjadi ditengah masyarakat dan lain sebagainya. Dengan kealimanya maka dengan mudah pertanyaan-pertanyaan itu dapat dijawab satu persatu.[72]
Mengetahui kealiman kiai Maisur, para keluarga Ringinagung pun mempunyai pemikiran untuk memanfaatkan kealiman beliau guna memajukan pondok Ringinagung yang saat itu masih dalam masa transisi karena generasi penerus seperti kiai Zaid dan kiai Saubari masih mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Diantara permasalahan pondok yang diajukan kiai Makun kepada kiai Maisur adalah mengenai tata tertib santri. kiai Maisur mengajukan pendapat untuk mencanangkan peraturan-peraturan pondok yang kala itu belum ada. Pendapat kiai Maisur itupun disetujui dan dibuatkanlah sebuah peraturan-peraturan untuk santri pertama kali oleh kiai Maisur yang sampai saat ini masih ada terpapang di tembok serambi Masjid Ringinagung.[73]
Berdasarkan keterangan yang dibubuhkan dalam catatan kiai Maisur Sindi yang mengulas sejarah berdirinya madarasah al-Asna Ringinagung, beliau resmi menjadi penduduk Ringinagung pada tahun1375 H/ 1956 M. beliau menuturkan sebagai berikut “ .... Pada sannah 1375 H/ 1956 M saya menjadi penduduk dan warga pondok Ringinagung dan telah mengetahui washiat embah canggah [kiai Imam Nawawi] dan memadahinya ....”.[74]
Bertahun-tahun Ringinagung berdiri tanpa nama dan simbol. Kemudian berdasarkan keputusan dan hasil musyawaroh para masyayikh terdahulu ditetapkan sebuah nama “Mahir” yang berarti cerdik atau pandai. Menurut sebagian masyayikh yang ikut pembentukan nama tersebut mengatakan bahwa nama “Mahir” itu adalah singkatan dari Ma’had Islam Ringinagung, dan sebagai simbol khusus untuk melengkapi nama “Mahir” adalah sebuah lambang bergambar maasjid yang diambil dari bentuk masjid Ringinagung.[75]
Pada tahun 1964-1965 M, nama Mahir ditambahkan rangkaian kata lagi dengan “ar-Riyadl” menjadi Mahir Ar-Riyadl. Tambahan nama ini adalah ide dan gagasan kiai Maisur. Setelah diadakan musyawaroh dan munajat dari para masyayikh pada saat itu maka diterimalah nama itu sebagai tambahan “Mahir” sehingga terciptalah nama yang indah yaitu “Mahir ar-Riyadl Ringinagung”. Inpirasi yang melatar belakangi tambahan nama “ar-Riyadl adalah nama tersebut diambil dari kemegahan dan keindahan sebuah taman yang berada dikerajaan Rumania yang masyhur karena terdapat berbagai corak dan ragam tumbuhan indah yang menghiasinya. Taman tersebut bernama taman Ar-Riyadl yang sempat menjadikan shahabat Hisyam yang berkuasa sebagai kholifah dinasti Umayyah tertarik lalu mengabadikan nama tersebut pada sebuah akademi yang berorentasi pada bidang agama dan dan kemiliteran yang beliau dirikan.[76]
Setelah pondok Ringinagung memiliki nama dan simbol khusus di atas, pondok Ringinagung belum memiliki madarasah, kiai Maisur yang sudah berpengalaman dalam merintis madarasah pada tahun 1956 M. didesak-desak oleh sebagian keluarga pondok Ringinagung untuk bersedia mendirikan madarasah. Beliau pun tidak tergesa-gesa dalam menanggapi permohonan sebagian keluarga tersebut disebabkan ada hal yang harus dipertimbangkan antara lain washiat dari kiai Imam Nawawi yang melarang berdirinya madarasah di pondok Ringinagung. kiai Maisur lantas memberi jawaban kepada sebagian keluarga yang mendesaknya pada akhir tahun 1956 M sebagai berikut “ .... yang akan mendirikan madarasah itu insya Allah dari keluarga sini sendiri. Adapun saya insya Allah tetap melindungi dan mengarahkan  dan mendampingi.”.[77]
Setelah jawaban di atas diutarakan oleh Kiai Maisur, kemudian beliau mengatakan dalam catatan sejarah berdirinya madarasah al-Asna sebagai berikut:
“Pada tahun 1389 H[/ 1969 M.] bersamaan dengan keadaan yang memaksa, Allāh Subhānahu wata’āla mengubahkan [menggerakkan] dua orang al-Fatā Syaubari Masyhūd dan kiai Zaid Abdul Hamid dengan tidak semayan kebangkitan akan mendirikan madarasah yang sifatnya hanya menertibkan pengajian dan kitab-kitab yang telah berlaku dan menambah kebangkitan ta’allum [belajar] fan-fan ilmu yang telah dimiliki oleh Ulamā’ Shōlihīn min ahli Sunnah wal Jamā’ah as-Salafiyah as-Syāfi’iyah .... selanjutnya pada suatu malam kedua orang [Al-Fatā Syaubari Masyhūd dan kiai Zaid Abdul Hāmid] mengumpulkan para kiai-kiai pondok Ringinagung melahirkan dan mengemukakan berdirinya madarasah yang bersifat dengan sifat-sifat makhshūshoh seperti yang telah tercantum yang tidak melanggar washiat-washiat embah canggah. Semua menyambut syukur al-Hamdulillāh. .... setelah lima tahun madarasah berjalann dan tampaknya sangat menyenangkan dan hasil buah ta’allum  lebih unggul dari pada ngaji sorokan biasa dan tertangkap oleh masyarakat madarasah ini menjadi kawasan perhatian pengaruh yang sangat menarik, maka para ustadz dalam beberapa waktu musyawaroh dalam perihal nama madarasah ini. Akhirnya embah Syaubari selaku wakil dari asatidz datang ke rumah saya “madarasah minta beri nama.” Hal ini saya terima, tetapi tidak tergesa-gesa. Makan beberapa waktu untuk merenungkan dan menjernihkan rasa hati mohon petunjuk dari Allāh Subhānahu wata’āla. Setelah lewat ± empat puluh hari saya berkata kepada embah Syaubari, bahwa nama madarasah ini “al-Asna”. Kemudian nama al-Asna ini diterima oleh para asatidz dan pengasuh pondok ....”[78]   
Al-Fatā Syaubari Masyhūd dan kiai Zaid Abdul Hāmid dalam catatan kiai Maisur di atas, seperti yang telah diuraikan jauh di atas adalah generasi penerus periode ketiga yang merupakan cicit kiai Imam Nawawi. menurut kiai Maisur, beliau berdua tidak termasuk melanggar washiat kiai Imam Nawawi disebabkan beliau berdua sangatlah memahami maksud madarasah yang diwashiatkan oleh kiai Imam Nawawi yaitu madarasah yang dikawatirkan mengandung ajaran-ajaran yang liar dari ahli Sunnah wal Jamā’ah. Kiai Maisur seperti sedia kala lantas membantu, mengarahkan dan melindungi berdirinya madarasah yang setelah lima tahun berjalan madarasah tersebut beliau beri nama dengan nama Madarasah al-Asna dan nama tersebut disetujui oleh segenap masyayikh dan para guru Mahir ar-Riyadl Ringinagung.[79]
Adapun jenjang pendidikan pada saat ini sebagai berikut: a) Madarasah Ibtidaiyah dengan masa pendidikan lima tahun, b) Madarasah Tsanawiyah dengan masa pendidikan tiga tahun, c) Madarasah Aliyah dengan masa pendidikan tiga tahun.[80]

D.      Kitab-Kitab Karya Kiai Ahmad Maisur Sindi.
Kiai Ahmad Maisur Sindi adalah salah satu ulama’ Nusantra yang produktif dalam menyusun karya-karya ilmiyah berupa kitab di zamannya.  Kemampuan dalam menyusun karya-karya tersebut kemungkinan besar adalah keteladaan yang diwariskan oleh guru-guru beliau semisal kiai Hasyim Asy’ari Tebu Ireng dan Kiai Ihsan Dahlan Jampes. Kebanyakan kitab-kitab beliau berupa kalam syair[81] disertai penjelasan. Berikut adalah nama kitab karya-karya beliau:
1.      Tanbīh al-Muta’allim fī Ādāb at-Ta’allum.
Mengenai latar belakang dan sistematika penulisan kitab ini insya Allah akan dibahas panjang lebar pada  bab berikutnya.
2.      Nail al-Amāl fī Qowāid al-I’lāl.
Kitab setebal 103 halaman dengan ukuran kertas A4 dua halaman perlembar ini tersusun dan sudah digunakan di pondok Ringinagung sejak tanggal 8 Dzul Hijjah 1390 H/  4 Februari 1971 M.[82]
Kitab ini menjelaskan tentang ilmu shorof berupa kaidah-kaidah I’lāl. Kaidah I’lāl adalah tatacara merubah bentuk kosa kata bahasa arab untuk memperbaiki kata-kata tersebut yang semula berat agar menjadi ringan dengan tanpa merubah arti kosa kata tersebut.[83]
Kitab ini memuat 35 kaidah penting dalam ilmu shorof dengan berbentuk kalam syair yang ber-bahar thowīl sebanyak 102 bait indah sekaligus diberi penjelasan secara ringkas pada setiap bait-baitnya. Bahar Thowīl adalah kata-kata yang disusun dengan not wazan:
فَعُوْلُنْ مَفَاعِيْلُنْ فَعُوْلُنْ مَفَاعِيْلُنْ  * فَعُوْلُنْ مَفَاعِيْلُنْ فَعُوْلُنْ مَفَاعِيْلُنْ.[84]
Kitab ini biasa diajarkan di Madarasah Diniyah pada tingkatan Ibtidaiyah (pemula). Ada tiga alasan yang disampaikan kiai Ahmad Maisur Sindi dalam menyusun kitab ini yaitu: a) bentuknya yang ringkas, dapat memudahkan para mubtadi’ (siswa pemula) dalam menghafalkan lafazh-lafazh dan memahami arti-arti yang terkandung di dalamnya, b) dengan kaidah-kaidah dan contoh-contohnya yang diurutkan sesuai dengan masalah-masalah dalam kitab al-Amtsilah at-Tashrifiyah karya kiai Ma’shum Tebu Ireng, Jombang kitab ini dapat memudahkan pengajar dalam mengajarkan kitab al-Amtsilah at-Tashrīfiyah dan memberi pengetahuan kepada para pelajar dan, c) kitab ini disusun untuk menyempurnakan mata pelajaran di Madarasah Diniyah tingkat Ibtidaiyah di Indonesia dan untuk memenuhi kebutuhan para pelajarnya.[85]
3.      Al-Ikmāl Fī Bayāni Qowāid al-I’lāl.
Dalam halaman terakhir kitab ini tercantum penanggalan yang digaris bawahi sebagai berikut: “Thursidi 19 Dzulhijjah 1371 H”. Kemungkinan catatan tersebut menunjukkan waktu selesai penyusunannya.[86]
Kitab setebal 78 halaman dengan ukuran kertas F4 satu halaman perlembar ini disusun dengan bentuk kalam syair ber-bahar rojaz sebanyak 144 bait disertakan penjelasan berbahasa arab. Bahar Rojaz adalah kata-kata yang disusun dengan not wazan:
مُسْتَفْعِلُنْ مُسْتَفْعِلُنْ مُسْتَفْعِلُنْ * مُسْتَفْعِلُنْ مُسْتَفْعِلُنْ مُسْتَفْعِلُنْ.  [87]
Di dalam kitab ini  memuat penjelasan lebih rinci tentang kaidah-kaidah I’lāl. Tersusunya kitab ini sebagai pendukung dalam pembelajaran kitab Nail al-Amāl. Beliau mengutarakan alasan penyusunan kitab ini sebagai berikut:
“… dan untuk para ustadz yang mengajarkan “Nail al-Amāl” itu supaya tambah terang disusunkan kitab yang bernama “al-Ikmāl fī Qowāid al-I’lāl”. Semoga Tarbiyah Islamiyah yang di pondok pesantren dan madarasah-madarasah yang telah merata itu makin meningkat manfa’at dan barakahnya. Amin yā Robba al-‘Ālamīn.”.[88]
4.      Tamhīd al-Bayān fī Tajwīd Ash-Shibyān.
Kitab ini selesai disusun oleh beliau pada hari Rabo Pahing tgl 18 Jumada al-Akhiroh 1396 H bertepatan dengan tanggal 16 Juni 1976 M di Ringinagung, Pare, Kediri.[89]
Kitab ini membahas tentang ilmu Tajwid yang fokus kepada makhorij al-Huruf dan sifat-sifatnya. Di dalamnya terdapat 51 bait yang tersusun dengan indah berbentuk kalam syair ber-bahar  rojaz diikuti keterangan berbahasa jawa. Alasan yang mendasari tersusunya kitab ini sebagaimana yang telah di uraikan oleh beliau adalah:
.... guna untuk lebih memadahi hati para pelajar ‘ilmu I’lal mengenai huruf Mutajānisain dan Mutaqōribain  dalam (I’lal) al-Ibdal. b). Untuk mengantar para pelajar ilmu Tajwid tingkatan Ibtidaiyyah dari pelajaran Tuhfah al-Athfāl dan al-Jazariyyah ….”[90] 

5.      Tahdzīb al-Lisān fī Kafiyati Tadrīsi Tamhīd al-Bayān.
Kitab ini menjelaskan tentang tatacara/metode mengajarkan kitab Tamhīd al­-Bayān  yang telah lalu diuraikan. Kitab ini bertulisan arab pegon dengan menggunakan bahasa jawa yang terkadang disisipi ibarot-ibarot dari kitab-kitab fiqh klasik. Tidak ada kalam syair di dalamnya. Dalam kitab ini dijelaskan juga sebagian alasan penyusunan  kitab Tamhīd al-Bayān; yaitu guna untuk mengantisipasi terjadinya lahn yang merusak arti lafazh-lafazh yang dituju mulai dari masih kecil sampai pada tarap kakek-kakek. Lahn adalah mengucapkan harf Hijaiy tidak sesuai dengan makhroj atau sifatnya.[91]
6.      Tadrīb an-Nujabā’ fī ba’dli Isthilāhāt al-Fuqohā’.
Kitab ini menjelaskan tentang sebagian ishtilah-ishtilah Fuqohā’. Kitab ini penting untuk diketahui oleh para pelajar fiqh utamanya kelas menengah dan atas, agar mereka bisa dengan cekatan dalam mengucapkan dan memahami sebagian isthilah-isthilah yang sering digunakan oleh Ulamā’ Fuqohā’ dalam kitab-kitab mereka. Demikianlah kiranya alasan tersusunnya kitab ini.[92] Di dalamnya juga terdapat sebgain ishtilah-isthilah para sufi.
Kitab ini disusun dengan kalam syair berbahar rojaz berbahasa arab sebanyak 733 bait dengan diberi foot note pada lafazh-lafazh yang perlu untuk diberi keterangan. Kitab ini sudah dicetak dan sudah direvisi berulang-ulang kali. dan pernah dicetak serta digunakan di pondok Lirboyo namun pada cetakan Lirboyo hanya berupa tulisan tangan langsung dan dalam kitab tersebut tidak dibubuhkan kapan kitab itu dicetak. Di akhir halaman itu hanya tertulis sebagai berikut;
"بِعِنَايَةِ الْمَوْلَى وَتَوْفِيْقِهِ: كَتَبَهُ مُحَمَّدْ مَحْفَوْظْ رِضْوَانْ".[93]   
Pada waktu kitab ini selesai disusun, kiai Maisur meminta tolong kepada kakak ipar beliau kiai Zaid untuk mentashhihkan kitab tersebut kepada kiai ‘Ali Mahrus Lirboyo. kiai Mahrus langsung menyatakan bahwa kitab ini dapat digunakan dan percaya penuh kepada kiai Maisur utamanya dalam hal keilmuan dan penyusunan karya ilmiyah.[94]
7.      ‘Umdah al-Fudlolā’ Syarh ‘ala Tadrīb an-Nujabā’.
Kitab ini hadir sebagai penjelasan dan membantu untuk memahami syair-syair dalam kitab Tadrīb an-Nujabā’. Kitab ini ditulis setebal 183 halaman di atas ukuran kertas F4 satu halaman berbahasa arab. Kitab ini disusun secara sistematis dengan menggunakan bab-bab sebanyak 55 bab.[95]
8.      Hāsyiyah Syarh at-Tadrīb al-Musammā bi al-Khulāshoh al-‘Umdah.
Seperti halnya kitab al-‘Umdah, kitab ini hadir sebagai sebagai penjelasan dan membantu untuk memahami syair-syair dalam kitab Tadrīb an-Nujabā’. Hanya saja kitab ini lebih ringkas dari kitab ‘Umdah. Dan belum diterbitkan dan masih berupa tulisan tangan.
9.      Ats-Tsamarōt adh-Dhōhirāt bitarjamah al-Waroqōt az-Zāhirōt.
Kitab ini adalah tarjamah kitab al­-Waroqāt karya Imām al-Haromain (W. 478 H) yang sangat masyhur di kalangan santri. Tujuan diterjemahkan kitab ini ke dalam bahasa jawa tengah inggil  adalah untuk memenuhi permintaan para alumnus pondok Ringinagung yang sudah memiliki lembaga dan madarasah di tempatnya masing-masing untuk mempermudah dalam memaham isi kitab al-Waraqōt. Kitab setebal 113 halaman diselesaikan pada tanggal 19 Shofar 1414 H/ 7 Agustus 1993 M di pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung.[96]
10.  Al-Hawāshil al-Munadldlirrōt fī Abniyyāt al-Auqōt wa al-Jihāt.
Kitab ini tersusun sistematis berbahasa arab dan Indonesia pegon berupa kalam syair berbahar rojaz disusul keterangan  dan disertai rumus-rumus matematik. Kitab setebal 128 halaman ini membahas tentang tata cara mencari arah qiblat dan masuknya sholat lima waktu. Di dalam kitab ini dijelaskan juga volume berat bumi, bulan dan matahari. Kiai Maisur menyatakan sebagai berikut:
“asy-Syamsu matahari Sun dari Sunna bilughoti Alman [dengan bahasa Almania adalah] bola api gas yang maha besar yang tinggi berkubarnya tidak kurang dari 280.000 mil, berisikan zat air, atau hidrogen, besi, tembaga, natrium, helium, zinak [zeloit], kapur dan lain sebagainya. titik-titik itu adalah kelompok-kelompok yang maha besar. Asap hitam: sumber-sumber gas yang tertekan oleh hawa luar, yang sebagian panjangnya satu kali 40.000 mil. Usia matahari kini bir-Roshdi 5-8 ribu miliar tahun. Bandingan matahari menarik ke pusatnya dengan bumi menarik ke pusatnya ada 27 kali sekuat bumi menarik ke pusatnya disebabkan perbandingan kekuatan barang 2 menurut bandingan beratnya. Telah maklum berat matahari 324.000 kali seberat bumi. Jadi kekuatan tarikan bumi adalah 324.000 kali sekuat tarikan matahari merendahnya. Jadi kalau bumi ini besarnya sama dengan matahari, maka barang yang aslinya berat 1 km. sekarang 324.000 km....”.[97]
Di dalamnya dicantumkan juga tata cara menghadap ke qiblat dan masuknya waktu sholat ketika berada di bulan. Singkatnya, dalam kitab ini banyak menerangkan hal-hal menarik mengenai seputar ilmu astronomi, namun disayangkan  kitab ini belum tercetak dan diterbitkan untuk umum.[98]
11.  Al-Intibāh fī Syair Pekorlas (Pemberantasan Korupsi Lahiriyyah Sholat).
Kitab ini ditulis dalam rangka menyikapi korupsi lahiriyah sholat yang sering terjadi namun jarang diperhatikan. Di dalamnya diuraikan tata cara melakukan sholat yang benar menurut fiqh madzhab syafi’i mulai dari sebelum melakukan sholat sampai selesai sholat. kitab setebal 55 halaman ini disusun dengan bahasa jawa pegon berupa kalam syair bebahar bashīt dan muqoddimahnya berupa  syair berbahar Rojaz.[99]
Pada sekitar tahun 1967 M. dimana santri Ringinagung masih berkisar ±250, kiai Maisur Sindi mengadakan Pekorlas dengan cara peraktek sholat bagi para santri secara bergilir setiap hari sepuluh santri. Hal itu beliau lakukan guna untuk memberantas jangan sampai ada santri-santrinya yang masih melakukan korupsi dalam melaksanakan sholat.[100]   
12.  Al-Ibdā’ al-Wāfī fī ‘Ilmayi al-‘Arūdli wa al-Qowāfi.
Kitab setebal 132 halaman ini ditulis dengan kalam syair berbahar rojaz disertai dengan keterangan berbahasa arab. Di dalamnya dijelaskan panjang lebar dan detail mengenai tata cara membuat kalam syair dengan  wazan-wazannya yang terbagi menjadi 15 bahar menurut Imām Kholīl, berupa bahar Thowīl, Madīd, Bashīt, Wāfir, Kāmil, Hajd, Rojaz, Sarī’, Munsarih, Mudlōri’, Muqtadlob, Mujtats, dan Mutaqōrib.[101]
Kiai Maisur menegaskan bahwa ilmu syair adalah fan ilmu yang sangat penting, karena dengan  ilmu syair dapat seorang akan dapat menbedakan antara kalam syair dan kalam bukan syair. Dengan demikian, dapat diketahui juga secara [yaqin dan ilmiyah] bahwa al-Quran bukan kalam syair. Kemudian, meyakini bahwa al-Quran bukan tersusun dari kalam syair sebelum mempelajari dan mengetahui ilmu syair disebut dengan keyaqinan taqlid dalam aqidah. Maka, jika kita tidak ingin termasuk orang yang taqlid dalam keyaqinan bahwa al-Quran bukan kalam syair maka baginya harus mempelajari dan mengetahui ilmu syair.[102]
13.  Risālah fī al-Fasīkh.
Risalah yang setebal 14 halaman ini ditulis dengan bahasa jawa pegon. Walaupun kitab ini berbentuk kecil dan tipis, namun di dalamnya dijelaskan hal-hal yang penting untuk diketahui diantaranya adalah penjelasan mengenai cara mengetahui ikan asin yang najis dan suci. Di dalamnya diulas juga tentang hati nurani, ruh, alam malakut dan sifat-sifat nafsu. Beliau menegaskan bahwa kegelapan yang menimpa nur rohani manusia itu berasal berbagai sebab, diantaranya disebabkan perbuatan haram yang dilakukan oleh panca indera dan dari sifat nafsu yang buruk, termasuk diantaranya disebabkan memakan ikan asin yang najis meski dima’fu.[103]
14.  Risālah Tanbīh fī Nahdloh al-‘Ulamā’ (NU).
Risālah ini disusun sebagai respon atas hasil keputusan NU pada tahun 1987 M. di Situbondo Pasuruan dalam mengambil keputusan untuk tidak melibatkan NU kepada dunia politik sama sekali yang dikenal dengan khittoh NU. Kiai Maisur tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa NU tahun 1926 M [era kiai Hasyim Asy’ari] itu tidak berpolitik. Risālah setebal 4 halaman yang ditulis dengan bahasa arab ini menjelaskan tentang sejarah berdirinya NU dan sikap politik NU menurut pandangan kiai Maisur Sindi.[104]  
15.   Risālah Ma’mūm Muwāfiq lan Ma’mūm Masbūq.
Kitab setebal 35 halaman ini adalah tarjamah nukilan dari kitab-kitab fiqh yang mengulas tentang Ma’mūm Muwāfiq dan Ma’mūm Masbūq. Kitab ini ditulis dengan bahasa jawa pegon disisipkan ibarat darikitab fiqh yang mudah dipahami oleh semua tingkatan pelajar. Kiai Maisur menjelaskan pengertian Ma’mūm Muwāfiq lan Ma’mūm Masbūq sebagai berikut:
“Ma’mūm Muwāfiq ingge’h puniko ma’mūm e’ngkang mangge’h sangke’ng ngadeke’pon, mulai takbiroh al-Ihrōme’pon, utawi ngadeke’pon piyambe’ke’ e’ngkang sareng kalihan imām dumugi rukū’ ipon imām, mangge’h mongso ingkang cekap kangge’ mahos al-Fātihah milai Basmalah kelawan nisbah wacan e’ngkang mejono boten nisbah wacane’ piyambae’, miturut Aujah. Tapi ye’n ma’mumepon terus mahos al-Fatihah sake’ng Basmalah kelawan waosan e’ngkang mejono, lajeng imame’pon e’ngkang dipon wahos ugi namung al-Fatihah beloko kanti waosan engkang rikat fauqo al-‘Ādah sehingga imām rukū’, ma’mūm dereng cekap Fātihahe’ mongko kiyambeke’ kalebet nami ma’mūm masbūq hukman  .... Ma’mūm Masbūq wonten ngeriki ingge’h puniko masbūq haqīqotan, ingge’h puniko ma’mūm ingkang milahi sangking takbiroh al-Ihrōme’pon dumugi rukū’e’pon imām boten manggihi mongso e’ngkang cekap kangge’ mahos Fātihah nisbah kelawan wahosan Fātihah ingkang mejono boten nisbah dateng wahosane’pon imām utawi piyambae’. Tapi umpami imāme’pon angge’ne’pon mahos al-Fatihah mejono, ma’mum angge’ne’pon mahos al-Fātihah rikat fauqo al-‘Ādah sehinggo imām dereng rukū’ piyambae’ sampon cekap, puniko kalebet ma’mūm muwāfiq, .... ”.[105]
16.  at-Tamrīdl.
Kitab setebal 61 halaman ini ditulis dengan bahasa Indonesia. Kitab ini adalah karya terakhir kiai Maisur Sindi menjelang beliau wafat. Tertulis dalam kata penghantar sebgai berikut, “25 Rojab 1417 H/ 6 Desember 1996 M.”.[106]
Kitab ini membahas tentang tata cara merawat orang sakit dan orang yang meninggal mulai dari peroses memandikan, mengkafani, menyolati sampai menguburkannya. Begitu penting sekali isi kandungan kitab ini sehingga kitab ini bukan hanya diperlukan bagi kalangan di pedesaan atau perkotaan melainkan juga di kapal-kapal yang sering berlayar berhari-hari, karena kemungkinan ada penumpang kapal yang sakit bahkan sampai meninggal yang harus dikubur (ditenggelamkan) di dasar lautan. Mengenai kematian yang terjadi dipelayaran, beliau menuturkan sebagai berikut:
 “di dalam kapal yang sering berlayar sehari-hari, seharusnya dipersiapkan peti sebanyak satu, dua atau tiga bahkan lebih menurut kebutuhan yang diperlukan. Peti tersebut sifatnya adalah: 1). Harus kuat, rapat, dan tidak berlubang yang menyebabkan masuknya air. 2). Tidak gampang rusak yang disebabkan dari hewan buasnya lautan. 3). Tenggelamnya ke dasar lautan harus lurus (tidak terombang ambingkan oleh ombak). Dan agar peti pada waktu diturunkan ke dasar lautan tidak terombang ambingkan oleh ombak, maka dibawah kepala si mayit supaya dibanduli batu yang beratnya 5 kg, diantara dada dan pinggang dibanduli 8 kg, diantara pantat dan lutut dibanduli 3 kg, dan diantara lutut sampai telapak kaki dibanduli 2 kg, yang jumlah keseluruhannnya ada 18 kg. Ukuran seberat itu (18 kg) sudah lebih berat dari tekanan air laut yang tebalnya 180 kubik. Batu yang digunakan bandul ini sebaiknya dicetak seperti bata merah/paving supaya dapat dipastikan keseimbangannya antara batu tersebut dan petinya .... setelah cukup disholati, mayat dimasukkan ke dalam peti dan dihadapkan ke Qiblat, dengan menjaga agar mayat tidak gampang berubah dari posisi arah Qiblatnya, serta pada waktu menurunkan peti kedasar lautan supaya pelan-pelan dengan berdoa: بـِـــــــــــــــــــــــــسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ.”.[107]
Dalam kitab ini juga, kiai Maisur mengkritisi adat budaya jawa yang bertolak belakang dengan kosep fiqh. Beliau menuturkan keritik beliau sebagai berikut:
“cara memandikan mayit dipangku hendaknya dijauhi betul-betul mengingat wajib menjaga cara-cara Islam didalam memandikan mayat, yakni menghindari التَّضَمُّخْ فِيْ الْمُسْتَقْدِرَاتْ yang tidak dibutuhkan yang bisa diganti dengan cara yang lebih utama, yaitu cara memandikan mayat Islam yang sudah dilaksanakan oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya .... ketika mayit di liang kubur dan akan ditimbun itu tidak boleh diadzani dan diiqomati karena bukan waktunya adzan dan iqomah. Namun hal ini sudah merata di negara kita. Adapun hukumnya adzan dan iqomah ketika mayat akan dikubur itu termasuk bid’ah mungkaroh seperti yang ditutur dalam kitab Fatawi al-Kubro Ibni Hajar juz II hal.17 .... ”.[108]


[1] Arief Furchan dan Agus Maimun, “Studi Tokoh; Metode Penelitian Mengenai Tokoh”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 99-100.
[2] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid Maisur Sindi di kediamannya Pon. Pes. Ringinagung Keling Kepung Pare Kediri pada tanggal, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[3] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[4] Nahdlotul Ulama, disingkat NU, artinya kebangkitan ulama. Sebuah organisasi yang didirikan oleh para Ulama’ pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rojab 1344 H di Surabaya. Sulaiman Fadeli dan Muhammad Subhan, “Antologi NU: Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah”, (Surabaya: Khalisna, 2007), h. 3.
[5] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[6] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[7] Wawancara ke tiga dengan ‘Irfan Hamid di rumah kediaman Pon. Pes. Ringinagung pada tanggal, 13 Mei 2015 jam 20.00-20.30.
[8] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[9]  Wawancara pertama dengan Hamid Irfan, 19 April 2015 jam 19.00-19.40. dan wawancara ke tiga dengan ‘Irfan Hamid di rumah kediaman pada tanggal, 13 Mei 2015 jam 20.00-20.30.
[10]  Wawancara dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40. 
[11]  Wawancara dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[12]Muhammad Yasin Baihaqi, “Az-Zabīd fī Ba’dli Manāqib as-Syaikh Abdil Hāmid”, (Kediri: t.p., t.t.), h. 3-5.
[13] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke tiga di rumah kediaman pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung Keling Kepung Pare Kediri pada tanggal, 13 Mei 2015 jam 21.00-21.30.
[14] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40. 
[15] Habib Burhanuddin, al-‘Ulama’, (Kediri: Pon. Pes. Mahir Ar-Riyadl, Ringinagung, t.t.), h. 2.
[16] Tim Kelas III MTs 2006, “Album Memori al-Manna; Guyub Rukun Menuju Cita & Asa”, (Kediri: Pondok Pesantren Mahir Ar-Riyadl Ringinagung, 2006), h. 80.
[17]Ahmad Maisur Sindi, ‘Umdah al-Fudlolā’ Syarh ’ala Tadrib An-Nujabā’, (Kediri: Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 1.
[18] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[19]Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua di rumah kediamannya Pondok Pesantren Mahir Ar-Riyadl Ringinagung Keling Kepung Kediri pada tanggal, 25 April 2015 jam 18.30-19.50. 
[20] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[21] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[22] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[23] Wawancara dengan Hamid Irfan, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.  
[24] Kiai Hasyim Asy’ari lahir di desa Gedang, selatan kota Jombang pada hari selasa 24 Dzul Qo’dah 1287 H/ 1871 M di bawah asuhan kedua orang tuanya. Beliau memulai pendidikan dengan belajar Alquran dan dasar agama dari ayahnya. Kemudian melanjutkan pendidikan ke berbagai pesantren di nusantara diantaranya di pondok Shona, pondok Siwalan Panji, Sidoharjo, pondok Lancitan, Tuban, dan pondok Bangkalan, Madura di bawah asuhan kiai Kholil. Selain itu beliau melanjutkan pendidikan di Makkah dan tanah haram kira-kira 10 tahun. Beliau wafat pada tanggal 7 Romadlon 1366 H/ 1947 M di kediamannya, Tebu Ireng Jombang.  Hasyim Asy’ari, adab al-‘alim wa al-Muta’allim, (Jombang: Maktabah al-Turats al-Islami, 1387 H), h. 3-7.
[25] Tahun ini didapatkan dari analisis tahun keberangkatan yai Maisur ke Tebu Ireng dan berdirinya Madarasah Mafatih al-Huda di Jampes yaitu tahun 1942.
[26] Muhammaad Ilham Syah Almuttaqi, “Konsep Pedndidikan Akhlak Menurut Hasyim Asy’ari Dalam Kitab Adab Al-Alim Wa Al-Muta’allim” (Skripsi, STAIN Salatiga, Salatiga, 2013), h. 39-40.
[27] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[28] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50. 
[29] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.   
[30] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[31] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[32] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[33] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[34] Agus Hamid menggambarkan perkataan guru al-amrithi kepada yai Maisur pada saat ujian hafalan alfiyah 500 bait kepada yai Masur yang berdiri di luar ruang kelas; “kae’ sopo kae’. jajali bocah cilik neng jobo kae’. Ke’ne’ mengare’p jajali apal opo ora?!”. Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50..
[35] Menurut cerita Agus Munsif Maisur, kekecewaan guru tersebut bukan hanya diluapkan dengan hukuman jejer saja namun, guru tersebut juga memukulkan telapak tangan kanannya ke pengapus di atas meja. Wawancara dengan Munsif Maisur di Kantor Madarasah al-Asna Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung Keling Kepung Kediri pada tanggal, 10 Mei 2015 jam 09.30-11.30.
[36] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[37] Wawancara dengan Hafizh Ghozali di rumah kediaman pondok pesantren Ringinagung Keling Kepung Kediri pada tanggal, 24 April 2015 jam 19.40-21.10. Busro al-Mughni, “Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kediri”, (kediri: Jampes Kediri, t.t.), h. 34.
[38] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[39] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[40] Dikalangan para kiai Jawa, Syaikh Mahfuzd at-Turmusi terkenal sebagai seorang ahli hadits. Beliau juga diakui sebagai seorang Isnad (mata rantai) yang sah dalam transisi intlektual pengajaran kitab Shohih al-Bukhori.. Beliau mengarang sejumlah kitab tentang berbagai disiplin keislaman, seluruhnya ditulis dalam bahasa arab. Goa Ghiro menjadi tempatnya mencari inspirasi. Beliau biasa menghabiskan waktunya di gua tempat Nabi menerima wahyu-Nya yang pertama kali. Sayang, banyak karyanya yang belum sempat cetak bahkan beberapa diantaranya dinyatakan hilang. Setidaknya ada 20 karya beliau yang sudah dicetak, diantaranya kitab Manhaj Dzawi an-Nadhor. Jamaluddin al-Ghozi et.al., “Selayang Pandang Perguruan Islam “Pondok Termas” Pacitan”, ( Pacitan: Pondok Tremas, t.t.), h. 6-7. Beliau mengajar di Makkah selama 40 tahun. Banyak murid-murid yang berasal ari tanah air, diantaranya adalah kiai Hasyim Asy’ari, kiai Wahab Hasbullah, kiai Muhammad Bakir Djogja, kiai Asnawi Kudus, kiai Ma’shum bin Muhammad Lasem. Muhammad Mahfuzh at-Trusmusi, al-Minhah al-Khoiriyyah, (Jakarta: As-Syuun ad-Diniyyyah al-Jumhuriyyah al-Indonesiyyah, 2008), h. 10 & 14.
[41] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[42] Al-Mughni, “Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kediri”, h. 13, 32, 54.
[43] Ibid., h. 35-36.
[44] Wawancara dengan Hafizh Ghozali di rumah kediaman pondok pesantren Ringinagung Keling Kepung Kediri pada tanggal, 24 April 2015 jam 19.40-21.10.
[45] al-Mughni, “Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kediri”, h. 36.
[46] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid pertama,  19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[47] Mengenai profil kitab ini insya Allah akan dibahas di sub bab selanjutnya. Wawancara dengan Hamid Irfan ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[48] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[49] al-Mughni, “Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kediri”, h. 34.
[50] Ibid.
[51] Riwayat ini berdasarkan kesimpulan hasil wawancara dengan Munshif Maisur di Kantor Madarasah Al-Asna Pondok Pesantren Ringinagung pada tanggal, 10 Mei 2015 jam 10.00-11.30, dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50, dan dengan Munif cucu kiai Ihsan di rumah Kediaman pondok pesantren al-Ihsan Jampes Kediri pada tanggal 13 Mei 2015 jam 15.30-16.00.
[52]Diriwayatkan bahwa selepas kiai Mushlih berpindah dari jampes, kiai Ihsan mengikutkan beberapa santri Jampes untuk ikut menyertai kiai Mushlih ke Tanggir Tuban. Wawancara dengan Munif di rumah Kediaman pondok pesantren al-Ihsan Jampes Kediri pada tanggal 13 Mei 2015 jam 15.30-16.00.
[53] Wawancara dengan Munif di rumah Kediaman pondok pesantren al-Ihsan Jampes Kediri pada tanggal 13 Mei 2015 jam 15.30-16.00.
[54] Wawancara pertama dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40. 
[55] Wawancara pertama dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[56] Yang dikehendaki dengan kata “adikku” oleh kiai Ihsan adalah kiai hayat putra kiai Khazin paman kiai Ihsan. Sebagaimana pernah disebutkan, KH. Dahlan putra kedua Nyi. Isti’anah. Kakak KH. Dahlan yang bernama Mubarak wafat pada usia 39 tahun dalam keadaan masih membujang. Sedangkan adiknya yang bernama Muhajir setelah kembali dari belajar di pesantren ia pun mendirikan pesantren  di kampung mertuanya di desa Bendo Pare Kediri pada tahun 1911 M. Ia kemudian dikenal dengan nama KH. Khazin pengasuh [pertama] pesantren Bendo. Dengan demikian kiai Khazin atau Muhajir bendo adalah paman kiai Ihsan bin Dahlan. al-Mughni, “Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kediri”, h. 16.   
[57] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[58] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[59] Tim Kelas Tiga Mts Raudlotul Huda 2001, “Memori al-Izza Sal Sabili”, (Kediri: Pondok Pesantren Darul Hikam Bendo pare Kediri, 2001), h. 29, 32 & 33.
[60]  Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[61]  Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[62]  Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke dua, 25 April 2015 jam 18.30-19.50.
[63] Tim Kelas Tiga Mts Raudlotul huda 2001, “Memori al-Izza Sal Sabili”, h. 46, wawancara dengan Hafizh Ghozali di Rumah Kediamannya Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung Keling Kepung Kediri pada tanggal, 17 April 2015 jam 20.00-21.10, dan wawancara dengan di Rumah Kediamannya Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung Keling Kepung Kediri pada tanggal, 17 April 2015 jam 20.00-21.10.
[64] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid pada tanggal, 17 April 2015 jam 20.00-21.10.   
[65] Wawancara dengan Burhanuddin di kantor Madarasah al-Asna pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung pada tanggal, 16 Rajab 1436 H. dan Wawancara dengan ‘Irfan Hamid ke tiga di rumah kediaman pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung Keling Kepung Pare Kediri pada tanggal, 13 Mei 2015 jam 21.00-21.30. 
[66] Tim Kelas Tiga MTs al-Asna 2004, “Memori Rama; Raudlotul Ashdiqō’ bī Madrasatil Asna”, (Kediri: Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung Keling Kepung Pare Kediri, 2004), h. 12, 22, 43.
[67] Ibid., h. 67.
[68]Semoga Allah memberikan kemanfa’atan kepada kita semua melalui kiai Imam Nawawi dan keluarga besar serta penerusnya.  Amin. Ibid., h. 28.
[69] Ibid.
[70] Wawancara dengan agus Nashruddin pada acara sidang Triwulan Madarasah al-Asna di kantor madarasah al-Asna Pondok Pesantren Ringinagung pada tanggal, 23 Mei 2015 jam 21.00-22.00.
[71] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[72] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[73] Wawancara dengan ‘Irfan Hamid, 19 April 2015 jam 19.00-19.40.
[74] Tim Kelas III Mts al-Asna 2005, “album Memori El-Asna; Simbol Keluhuran Jiwa”, (Kediri: Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, 2005), h. 50.
[75] Tim Kelas III Mts al-Asna 2002, “silfana; Sirojul Fata al-Asna”,(Kediri: Pondok Pesantren mahir ar-Riyadl Ringinagung, 2002), h. 112.
[76] Tim Kelas III Mts al-Asna 2002, “silfana; Sirojul Fata al-Asna”, h. 112.
[77] Tim Kelas III Mts al-Asna 2005, “El-Asna; Simbol Keluhuran Jiwa”, h. 50.
[78] Ibid. 50-51.
[79] Ibid.
[80] Ibid., 46.
[81] Kalam Syair adalah kata-kata yang disusun dengan wazan ( not) dengan penyusunan yang disengaja menggunakan wazan bahasa arab (fa’ūlun, mafā’ilun, mufā’alatun, dst). Ahmad Maisur Sindi, al-Ibdā’ al-Wāfī fī ‘Ilmayi al-‘Arūdli wa al-Qowāfi, (Kediri: Pondok Pesantren Mahir Ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 4.
[82] Ahmad Maisur Sindi, Nail Al-Amāl Fī Qowāid Al-I’lāl, (Kediri: Pondok Pesantren Mahir Ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 3.
[83] Ibid., h. 17
[84] Disebut dengan bahar thowīl  yang berarti panjang karena bahar ini adalah bahar yang paling banyak memuat huruf. Sindi, Ibdā’ al-Wāfi, h. 7 dan 52.
[85] Sindi, Nail al-Amāl, h. 2-3.
[86] Sindi, al-Ikmāl Fi al-I’lāl, h. 69.
[87] Sindi, Ibdā’ al-Wāfi, h. 7 dan 56.
[88] Sindi, al-Ikmāl Fi Qowāid al-I’lāl, h. 3.
[89] Ahmad Maisur Sindi, Tamhīd al-Albayān fī Tajwīd ash-Shibyān, (Kediri: Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 66.
[90] Ibid., h. 1.
[91] Ahmad Maisur Sindi, Tahdīb al-Lisān, (Kediri: Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 1.
[92] Ahmad Maisur Sindi, Tadrīb An-Nujabā’ fī ba’dli Isthilāhāt al-Fuqohā’, (Kediri: Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl, 1418 H), h. 2.
[93] Sindi, Tadrīb An-Nujabā’ fī ba’dli Isthilāhāt al-Fuqohā’, (Kediri: Pondok Pesantren Lirboyo, t.t.), h. 99.
[94]Wawancara dengan Hafizh Ghozali di Rumah Kediamannya Pondok Pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung Keling Kepung Kediri pada tanggal, 17 April 2015 jam 20.00-21.10. 
[95] Ahmad Maisur Sindi, “‘Umdah al-Fudlolā’ Syarh ‘ala Tadrīb an-Nujabā’”, (Kediri: pondok pesantren Mahir ar-Riyadl, Ringinagung, t.t.), h. 181-183.
[96] Ahmad maisur Sindi, Ats-Tsamarot adh-Dhohirat bitarjamah al-Waroqot az-Zahirot, (Kediri: pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, 1993), h. 108.
[97] Ahmad Maisur Sindi, “Al-Hawāshil al-Munadldlirrōt fī Abniyyāt al-Auqōt wa al-Jihāt”, (Kediri: pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, t.p.t.t.), h. 8
[98] Ibid., 110.
[99] Ahmad Maisur Sindi, “Al-Intibāh fī Syair Pekorlas (Pemberantasan Korupsi Lahiriyyah Sholat)”, (Kediri: pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 1.
[100] Wawancara dengan Wahid di Kantor Keamanan dan ketertiban (Kantib) pondok pesantren Ringinagung Keling Kepung Kediri pada tanggal, 03  Juni 2015 jam 21.30-21.59.
[101] Sindi, Ibdā’ al-Wāfi, h. 5.
[102] Ibid., h. 4.
[103] Ahmad Maisur Sindi, Risālah fī al-Fasīk”, (Kediri: pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 1
[104] Ahmad Maisur Sindi, “Risālah Tanbīh fī nahdloh al-‘Ulamā’”, (Kediri: pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 4.
[105] Ahmad Maisur Sindi, “Risālah Ma’mūm Muwāfiq lan Ma’mūm Masbūq”, (Kediri: pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, t.t.), h. 3 & 4.
[106] Ahmad Maisur Sindi, “at-Tamrīdl”, (kediri: pondok pesantren Mahir ar-Riyadl Ringinagung, 1996), h. i.
[107] Ibid., h. i-ii
[108] Ibid., h. 27 & 43.

3 komentar:

  1. Maaf, kalau boleh tahu, ini makalah atau skripsi y? Misal ada bentuk jurnal online-nya, boleh saya minta link alamatnya?

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum abang klo saya pngen nanya2 dama penulis gmn?

    BalasHapus
  3. ALLOHUMMA SHOLI NGALA MUHAMMAD WASALIM

    BalasHapus